Fungsi Kontrol DPR Lemah, UU Perjanjian Internasional Dipersoalkan
Utama

Fungsi Kontrol DPR Lemah, UU Perjanjian Internasional Dipersoalkan

Imbasnya, setiap kesepakatan perjanjian internasional yang dilakukan Indonesia dinilai tidak menguntungkan bagi masyarakat.

Oleh:
CR-26
Bacaan 2 Menit
Henry Oliver David Sitorus saat memberi keterangan pers mengenai permohonan uji materi UU Perjanjian Internasional ke MK di Jakarta, Rabu (14/2/2018). Foto: CR-26
Henry Oliver David Sitorus saat memberi keterangan pers mengenai permohonan uji materi UU Perjanjian Internasional ke MK di Jakarta, Rabu (14/2/2018). Foto: CR-26

Sembilan lembaga swadaya masyarakat dan lima orang petani petambak garam yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Ekonomi mengajukan judicial review sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU) No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ke Mahkamah Konstitusi.

 

Mereka diantaranya, Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesian Human Rights and Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Solidaritas Perempuan (SP) dan KIARA. Lima pemohon lainnya bersifat perorangan yakni Amin Abdullah, Mukmin, Fauziah, Baiq Farihun dan Budiman.

 

Koordinator Kuasa Hukum Tim Advokasi Keadilan Ekonomi, Henry Oliver David Sitorus menerangkan ada empat pasal yang dimohonkan pengujian yakni Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 UU Perjanjian Internasional. Keempat pasal itu dinilai bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena selama ini peran dan fungsi pengawasan DPR sangat lemah ketika pemerintah melaksanakan perjanjian internasional.  

 

“Keempat pasal dalam Undang Undang a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi rakyat. Akibatnya hilang kontrol dan keterlibatan rakyat (DPR) dalam proses perundingan perjanjian internasional. Kita daftarkan pengujian UU Perjanjian Internasional hari ini,” kata Henry dalam konferensi persnya di Jakarta, Rabu (14/2/2018). Baca juga: Kementerian Luar Negeri Keluarkan Inovasi Treaty Room

 

Misalnya, dalam Pasal 2 UU Perjanjian Internasional disebutkan, “Menteri  memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik.”   

 

Menurut David, frasa “berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat” menandakan peran DPR hanya sebatas memberi pertimbangan kepada pemerintah dalam memutuskan perjanjian internasional. “Kami melihat kata konsultasi menandakan tidak ada kekuatan DPR untuk mengikat agar hasil konsultasi tersebut dilaksanakan pemerintah,” kata David menerangkan.

 

Untuk itu, dia menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2)  UUD 1945 yang menyebut, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait