Poin-poin Kontroversial UU MD3 Baru yang Berpotensi Langgar Konstitusi
Utama

Poin-poin Kontroversial UU MD3 Baru yang Berpotensi Langgar Konstitusi

​​​​​​​Pengesahan RUU ini hanya dianggap menguntungkan anggota dewan karena memberikan hak imunitas secara berlebihan.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Koalisi masyarakat sipil kritik pengesahan RUU MD3. Foto: AJI
Koalisi masyarakat sipil kritik pengesahan RUU MD3. Foto: AJI

Dua hari lalu DPR RI mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) menjadi Undang-Undang. Pengesahan tersebut mengundang reaksi negatif dari sejumlah kalangan sebab terdapat poin dalam revisi yang dianggap kontroversial dan berpotensi melanggar konstitusi.

Peneliti Parludem Fadli Ramadhanil mengatakan, pengesahan revisi UU MD3 ini sangat mengecewakan karena dianggap kontraproduktif dengan pembangunan demokratisasi di Indonesia. Sejumlah poin yang dianggap kontroversi di antaranya mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana harus seizin Presiden atas pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

“Izin MKD dalam proses penegakan hukum, 2015 sudah dibatalkan MK, dan itu cuma tindak pidana bukan khusus, arah revisi MD3 itu justru ke arah satu lagi, balik lagi ke yang sudah dibatalkan,” kata Fadli di Jakarta, Selasa (14/2).

Kemudian poin kedua yaitu adanya sanksi pidana bagi pihak yang dianggap merendahkan DPR. “Ini pasal karet, DPR itu tampung aspirasi masyarakat, harus ada ruang yang luas di publik. Ketika anggota DPR bekerja di luar aspirasi masyarakat tentu pemilih punya kewenangan untuk mengkritik. UU MD3 keluar dari itu. Mereka tidak bisa dikritik, kalau merasa dihina bisa disanksi pidana,” tuturnya. 

Menurut Fadli, hal ini merusak tatanan ketatanegaraan yang sudah disusun sedemikian rupa. Selain itu, poin-poin tersebut juga merupakan langkah mundur dari sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Ia juga menyayangkan sikap Kementerian Hukum dan HAM yang menyetujui undang-undang ini, sebab sebagai aparat pemerintah sudah seharusnya Kemenkumham mengkaji terlebih dahulu setiap aturan yang akan dikeluarkan termasuk pembahasan RUU MD3.

Baca:

Peneliti PSHK Fajri Nursyamsi berpendapat, pengesahan RUU MD3 ini sebagai ajang anggota dewan mempertontonkan hegemoni kekuasaan. Apalagi selama ini pembahasan RUU tersebut juga dianggap tidak terbuka kepada publik. Menurut catatan PSHK, ini kali kedua anggota dewan periode 2014-2019 merevisi UU MD3 yang dalam revisi sebelumnya juga ada penambahan aturan secara sepihak dan disahkan hanya dalam waktu semalam.

“Kita lihat dari penambahan fungsi ini jelas melanggar negara hukum, melanggar prinsip berkeadilan. MKD harus memberikan izin jika ada proses hukum, dia men-delay proses hukum. KPK misalnya harus izin MKD dulu, bahkan dalam putusan MK yang membatalkan peran MKD, ada catatan menunda keadilan proses hukum, tidak baik,” kata  Fajri.

Tags:

Berita Terkait