Polemik dan Dinamika Pilkada di Indonesia: Refleksi di Era Reformasi
Kolom

Polemik dan Dinamika Pilkada di Indonesia: Refleksi di Era Reformasi

Jika ditelaah lebih dalam, UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah, bahkan UU pemilihan presiden dan wakil presiden, terdapat beberapa hal persoalan.

Bacaan 2 Menit
Munandar Nugraha Saputra. Foto: Dokumen Pribadi
Munandar Nugraha Saputra. Foto: Dokumen Pribadi

Pilkada serentak 2018 sudah di depan mata, para kandidat dan tim suksesnya siap beraksi memenangkan kontestasi. Tidak hanya calon petahana, elit partai bahkan calon perseorangan, para anggota DPRD, anggota DPR RI bahkan para (mantan) menteri turun gunung menjadi kontestan.

 

Tidak kalah dengan mereka-mereka, kotak kosong pun ikut dalam kontestasi ini. Beruntungnya, kotak kosong bisa langsung menjadi kontestan tanpa harus ribet mendapatkan rekomendasi dari partai politik, apalagi dukungan 6,5 sampai 10 persen dukungan dari jumlah DPT.

 

Pesta demokrasi, pesta rakyat dan pesta kotak kosong. Belum melangkah pada tahapan setelah pendaftaran ditutup, pilkada 2018 sudah diwarnai berbagai dinamika hukum. Ada kandidat yang digugurkan KPU karena tidak memenuhi persyaratan dan tersangkut hukum, ada juga yang terjaring OTT KPK. Akankah hal ini terus berlanjut dalam kontestasi demokrasi kita?

 

Sebagaimana kita pahami, euforia reformasi mendorong amandemen UUD 1945 yang berujung pada pembatasan kewenangan presiden dan memotong kuasa lembaga tertinggi negara (MPR - yang dalam UUD 1945 sebelum diamandemen berwenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden), sehingga sistem ketatanegaraan kita berubah, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, semua berdiri setara.

 

Akibatnya, pemilihan presiden dilakukan secara langsung pada pemilu 2004 dengan lahirnya UU No. 23 tahun 2003. Lalu muncul semangat mendorong desentralisasi agar terjadi pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di berbagai daerah dengan otonomi daerah, hal ini ingin menjawab ketidakadilan pembangunan yang selama ini tercipta dengan sistem yang sentralistik, “kue pembangunan” tidak terdistribusikan ke daerah-daerah. Sehingga melahirkan UU No. 32 tahun 2004, hasil revisi UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya mengatur tentang pilkada secara langsung.

 

Lalu, bagaimana polemik dan dinamika pilkada yang berlangsung sejak 2004 itu? Sejak awal UU yang mengatur tentang pilkada secara langsung ditetapkan, polemik itu muncul. Karena UU ini ditetapkan oleh Presiden Megawati pada 5 Oktober 2004, ketika Presiden hasil pemilu 2004 sudah diumumkan, dan hanya berselang 15 hari sebelum Presiden SBY akan dilantik.

 

Singkat cerita, pilkada secara langsung ini berjalan hingga 2014. Anehnya, hal “serupa dan sebaliknya” juga terjadi pada penghujung pemerintahan SBY dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 2014, yang mengatur Pilkada dilaksanakan oleh DPRD (tidak lagi secara langsung). UU ini ditetapkan oleh Presiden SBY pada 30 September 2014, ketika hasil pemilu 2014 sudah diumumkan, hanya berselang 20 hari sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan dilantik. Apakah kejadian “serupa dan sebaliknya” ini adalah sebuah kebetulan? Wallahu a’lam...

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait