​​​​​​​Menilik Peran BPKN-BPSK dalam Sengketa Kredit Kendaraan Bermotor
Masalah Hukum Kredit Motor

​​​​​​​Menilik Peran BPKN-BPSK dalam Sengketa Kredit Kendaraan Bermotor

​​​​​​​Konsumen harus paham klausul yang tertulis dalam akta perjanjian kredit kendaraan bermotor.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia, terutama kota besar setiap hari mengalami peningkatan. Tahun 2016 BPS mencatat ada lebih dari 129 juta kendaraan bermotor di Indonesia. Semakin banyak orang yang ingin memiliki kendaraan bermotor membuat bisnis di industri pembiayaan berkembang karena tidak semua orang membeli kendaraan secara tunai, ada juga yang menyicil.

 

Konsumen yang membeli kendaraan dengan cara menyicil biasanya menggunakan jasa perusahaan pembiayaan atau sering dikenal dengan leasing. Ketika jenis dan harga kendaraan sudah disepakati, konsumen dan lembaga pembiayaan menjalin kesepakatan dalam suatu perjanjian tertulis. Dalam perjanjian itu umumnya diatur mengenai jangka waktu cicilan dan besarannya, serta sanksi jika kewajiban tidak dilaksanakan.

 

Sekalipun berbagai kesepakatan itu sudah tertuang dalam perjanjian, tidak jarang di kemudian hari terjadi sengketa. Untungnya, pemerintah sudah mengantisipasi itu melalui beragam kebijakan. Pemerintah bukan hanya memfasilitasi penyelesaian sengketa itu melalui lembaga peradilan tapi juga non peradilan seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

 

Merujuk UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada tujuh tugas BPKN antara lain memberi saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam menyusun kebijakan di bidang perlindungan konsumen. Kemudian, melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen. Selain itu BPKN menerima pengaduan dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha.

 

Ketua BPKN, Ardiansyah Parman, menjelaskan dalam menerima pengaduan masyarakat ada dua hal yang dilakukan. Pertama, merespon pengaduan dengan memberikan solusi. Kedua, melakukan kajian lebih lanjut peraturan terkait guna mencari solusi secara struktural. Hasil kajian itu berbentuk rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap perlindungan konsumen di sektor tertentu.

 

(Baca juga: Eksekusi Jaminan Atas Fasilitas Pembiayaan yang Bermasalah)

 

Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, pelaku usaha dan konsumen saling berdiskusi menyelesaikan persoalan. Kedua, jika perselisihan itu belum selesai dilanjutkan untuk ditangani BPSK. Jika sengketa itu tidak mampu selesai di BPSK, langkah ketiga yakni melanjutkannya ke pengadilan. Dalam perlindungan dan menyelesaikan persoalan konsumen, peran BPKN hampir serupa BPSK yakni sebagai lembaga non litigasi. Bedanya, BPKN tidak menyelesaikan sengketa konsumen, kewenangan itu ada di BPSK.

 

Perlu diketahui, BPKN dan BPSK tidak punya keterkaitan secara struktural walau payung hukumnya sama yakni UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. BPKN berkedudukan di Ibu Kota dan BPSK berada di daerah baik itu provinsi, atau kabupaten/kota. Menurut Ardiansyah, pembentukan lembaga penyelesaian sengekta konsumen di luar pengadilan ditujukan agar perkara yang ada bisa diselesaikan dengan mudah, cepat, dan murah.

Tags:

Berita Terkait