Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Belum Maksimal
Berita

Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Belum Maksimal

Banyak tantangan yang dihadapi dalam mengupayakan diversi. Misalnya jenis tindakan pidana yang melibatkan anak ancamannya lebih dari 7 tahun penjara.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Sistem Peradilan Pidana Anak. Ilustrator: BAS
Ilustrasi Sistem Peradilan Pidana Anak. Ilustrator: BAS

Pendekatan keadilan restoratif sangat penting untuk diterapkan dalam penanganan perkara tindak pidana anak. Mengacu UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

 

Pengacara publik LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara, mengatakan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana UU SPPA dapat dilaksanakan melalui cara diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Melalui diversi diharapkan dapat memperkecil dampak buruk yang bisa dialami anak karena berhadapan dengan proses hukum.

 

(Baca juga: Melihat Capaian Implementasi UU Sistem Peradilan Pidana Anak)

 

Melansir data Polda Metro Jaya periode 2013-2017 Ayu menghitung ada 229 kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Data itu meliputi perkara yang ada di wilayah Polda Metro Jaya. Dari 229 kasus itu hanya 32 kasus yang diupayakan diversi pada tahap penyidikan dan 158 kasus tidak dilakukan diversi dan 39 kasus tidak diketahui apakah dilaksanakan diversi atau tidak.

 

Pada tahap pra penuntutan (berkas P-21) sebanyak 13 kasus selesai karena laporan dicabut, 41 kasus selesai karena diversi, 20 kasus berhenti melalui SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), 113 selesai di persidangan dan 30 kasus tidak diberi keterangan perihal kelanjutan prosesnya.

 

Menurut Ayu ada banyak tantangan yang dihadapi dalam mengupayakan diversi untuk kasus pidana anak. Misalnya, jenis tindak pidana yang melibatkan anak tidak dapat dilakukan diversi karena ancamannya lebih dari 7 tahun penjara. "Itu merupakan alasan paling banyak kenapa upaya diversi tidak dapat dilakukan," katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (22/2).

 

(Baca juga: Lindungi Masa Depan Anak Lewat Sistem Peradilan Terintegrasi)

 

LBH Jakarta merekomendasikan pemerintah untuk melakukan legislatif review terkait syarat pelaksanaan diversi, terutama tindak pidana dengan ancaman lebih dari 7 tahun tapi tidak terdapat korban dalam pidana yang disangkakan kepada anak tersebut. Sebaiknya pemerintah merinci jenis tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan diversi atau tidak. Kemudian perlu ada pengawasan lebih ketat terhadap pelaksanaan diversi dalam tiap tahapan dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan guna mencegah penyalahgunaan wewenang menyangkut diversi.

 

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina, mengatakan periode 2017 KPAI menerima 3.849 kasus, dari jumlah itu kasus yang berkaitan dengan anak berhadapan dengan hukum paling banyak dibanding  bidang lain yakni 1.209 kasus. Dia yakin jumlah yang ada di lapangan dan tidak tercatat lebih besar. Menurutnya jumlah kasus yang ditangani KPAI bisa berkurang jika pemerintah daerah (pemda) menyediakan akses pengaduan masyarakat seperti membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2 TP2A).

Tags:

Berita Terkait