Aspek Hukum Proyek Infrastruktur
Kolom

Aspek Hukum Proyek Infrastruktur

​​​​​​​Berbagai kejadian robohnya proyek infrastruktur beberapa waktu lalu membuat masyarakat resah. Pemerintah pun belum mengumumkan hasil evaluasi. Hukum harus ditegakkan.

Oleh:
Roziqin
Bacaan 2 Menit
Aspek Hukum Proyek Infrastruktur
Hukumonline

Gencarnya pembangunan infrastruktur saat ini perlu mendapat apresiasi. Proyek-proyek konstruksi masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dan tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 tahun 2017. Perpres ini merupakan perubahan dari Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang ditandatangani pada 8 Januari 2016.

 

Namun sayangnya masifnya proyek konstruksi dibarengi dengan terjadinya beberapa kecelakaan kerja. Situasi ini menjadikan masyarakat menjadi was-was setiap melewati proyek konstruksi, khususnya proyek melayang (elevated). Saat ini setidaknya terdapat lima insiden kecelakaan yang terjadi sepanjang 2018 yaitu di proyek Jalan Tol Depok-Antasari; proyek light rapid transit (LRT) di Jalan Kayu Raya, Pulo Gadung, Jakarta Timur; proyek Double-Double Track (DDT) di Jalan Matraman Raya, Jakarta Pusat; jalur kereta api Bandar Udara Soekarno Hatta, dan terakhir di Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) yang berada di dekat gardu tol Kebon Nanas Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur.

 

Deretan daftar kecelakaan tersebut menambah daftar hitam rentetan kecelakaan sebelumnya yang terjadi pada 2017. Pada 2017, ada tujuh kecelakaan yang terjadi di proyek LRT Palembang, Sukabumi, Tol Bogor-Ciawi, Sukabumi, Jalan Tol Pasuruan Probolinnggo, LRT Jakarta, Crane Tol Jakarta-Cikampek, Jembatan Ciputrapinggan, dan Tol Pemalang-Batang.

 

Berbagai kecelakaan tersebut seharusnya menjadi perhatian serius bagi Pemerintah, terlebih ketika Pemerintah masih terus berambisi menuntaskan proyek infrastruktur saat ini. Pada APBN 2018, infrastruktur masih menjadi fokus prioritas pembangunan. Tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2018 adalah Memacu Investasi dan Infrastruktur untuk Pertumbuhan dan Pemerataan. Besarnya kebutuhan infrastruktur juga tercermin dari Rencana Pemerintah Jangka Panjang (RPJMN) tahun 2015-2019, yang mencapai Rp6.541,0 triliun atau setara dengan USD503,2 miliar. Apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus tanggung jawab?

 

Perhatikan Faktor Keselamatan

Faktor keselamatan pekerja dan pengguna hasil pekerjaan konstruksi harus menjadi perhatian utama. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa penyedia jasa dan subpenyedia jasa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi harus sesuai dengan perjanjian dalam kontrak dan memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan.

 

Ketiadaan sanksi pidana dalam UU Jasa Konstruksi seharusnya tidak menjadi celah para kontraktor dan pejabat untuk bermain dalam proyek konstruksi. Kontrak kerja konstruksi harus ditegakkan.

 

Untuk diketahui, terkait keselamatan, kontrak kerja konstruksi paling sedikit harus mencakup antara lain (1) ketentuan mengenai kegagalan bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban kegagalan bangunan; (2) pelindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; (3) perlindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian; dan (4) jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan.

Tags:

Berita Terkait