Hakim Tidak Dilahirkan, Melainkan Diciptakan
Berita

Hakim Tidak Dilahirkan, Melainkan Diciptakan

Selain integritas, pengalaman calon menangani perkara sangat penting. Pengalaman itu menjadi pisau analisis hakim.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ketua Kamar Pengawasan MA Sunarto (kiri) dan komisioner Komisi Yudisial Maradaman Harahap (tengah) dalam diskusi dan peluncuran buku di Komisi Yudisial, Kamis (22/3). Foto: KY
Ketua Kamar Pengawasan MA Sunarto (kiri) dan komisioner Komisi Yudisial Maradaman Harahap (tengah) dalam diskusi dan peluncuran buku di Komisi Yudisial, Kamis (22/3). Foto: KY

Mencari sosok ideal hakim agung di Indonesia hanya bisa dilakukan melalui sinergi antara Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, DPR dan para pemangku kepentingan lainnya. Hakim bukanlah sosok yang dilahirkan begitu saja, melainkan diciptakan melalui proses rekrutmen yang baik dan profesional. Rekrutmen calon hakim agung tidak seharusnya diposisikan sebagai lowongan pekerjaan yang terbuka bagi siapa saja.

 

Demikian benang merah diskusi ‘Sinergi dalam Mencari Sosok Ideal Hakim Agung Indonesia’, yang diselenggarakan Komisi Yudisial di Jakarta, Kamis, (22/3). Diskusi ini dihadiri sejumlah hakim agung, mantan hakim agung, dan komisioner Komisi Yudisial. Ada sejumlah persoalan yang mengemuka dalam diskusi seperti pola rekrutmen yang melibatkan pertimbangan politik, usia minimal (ideal) menjadi hakim agung, dan sinergi tiga pihak Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Komisi Hukum DPR.

 

Jabatan hakim agung adalah jabatan mulia yang dipersepsikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Proses rekrutmen hakim agung seharusnya benar-benar dilakukan untuk mencari orang yang bersedia mengabdi dalam dunia yang cenderung terisolasi dari pergaulan masyarakat. Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung, Sunarto, mengatakan bahwa jabatan hakim agung itu adalah pengabdian, bukan untuk cari pekerjaan. “Motivasinya jangan cari pekerjaan,” kata Sunarto dalam diskusi sekaligus peluncuran buku itu.

 

Dengan menyadari bahwa hakim itu diciptakan bukan dilahirkan, maka tugas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial adalah mencari calon yang memenuhi syarat intelektualitas (hard competency), keahlian atau skill (experience), dan integritas (soft competency). Di beberapa negara, cerita Sunarto, hakim direkrut dari lulusan terbaik perguruan tinggi terbaik. Jepang dan Arab Saudi, misalnya, menerapkan rekrutmen demikian.

 

Segi pengalaman calon penting dipertimbangkan karena berkaitan dengan ketajaman seseorang menganalisis dan memutuskan masalah setelah terpilih sebagai hakim agung. Misalnya bagaimana penugasannya di daerah, berapa perkara yang pernah ditangani, dan di daerah mana saja yang bersangkutan bertugas. Sunarto percaya, seorang hakim yang telah menangani perkara mulai dari yang sederhana di daerah sampai perkara yang sangat kompleks seperti di Jakarta akan mempertajam pisau analisis si hakim. Ketajaman pisau analisis hakim ‘diasah’ lewat kompleksitas perkara yang pernah ditanganinya. “(Pengalaman menangani perkara) Itu bisa menjadi pisau analisis hakim,” tegas Sunarto.

 

Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial, Maradaman Harahap, mengatakan proses rekrutmen hakim agung di Komisi Yudisial dilakukan secara profesional, dengan melibatkan mantan hakim agung dan negarawan. Bahkan karya tulis calon hakim agung dinilai oleh sebuah tim yang kompeten di luar Komisi Yudisial. Komisi Yudisial, kata dia, menjalankan rekrutmen sesuai persyaratan dan prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang.

 

Persoalannya tidak tunggal. Adakalanya sumber daya manusia yang mendaftar terbatas. Dalam kondisi demikian, Komisi Yudisial tak mungkin meloloskan calon hanya sekadar memenuhi target. Misalnya, Komisi Yudisial pernah diminta merekrut 8 hakim agung. Komisi hanya meloloskan 5 kandidat. Ternyata di Komisi Hukum DPR, hanya tiga dari 5 kandidat itu yang disetujui.

Tags:

Berita Terkait