Menilik Kebuntuan Putusan Praperadilan yang Dipandang Menyimpang
Kolom

Menilik Kebuntuan Putusan Praperadilan yang Dipandang Menyimpang

​​​​​​​PERMA 4/2016 tidak menjelaskan secara gamblang frasa ‘putusan praperadilan yang dianggap menyimpang secara fundamental’. Mestinya, hukum acara terkait Praperadilan diatur dalam KUHAP. Akibat ketidakmampuan lembaga eksekutif dan legislatif merevisi KUHAP, berujung lembaga yudikatif yakni MA dan MK memposisikan dirinya sebagai regulator, eksekutor dan supervisor hukum acara.

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Reda Manthovani. Foto: Istimewa

Hukum acara pidana Indonesia mengenal mekanisme pengujian terhadap sah tidaknya  “tindakan penangkapan dan atau penahanan. Begitu pula sah tidaknya penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan. Termasuk, permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka, keluarganya, pihak lain atau kuasanya yang perkaranya belum diajukan ke pengadilan”. Nah mekanisme tersebut dalam hukum acara disebut Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Keberadaan lembaga Praperadilan diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor:21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015. Putusan MK tersebut intinya, memperluas mekanisme pengujian Praperadilan dengan menambah objek praperadilan, yakni penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

 

Ternyata, putusan MK pun kembali diperkuat dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Khususnya, Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan, “Obyek Praperadilan adalah : a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”.

 

PERMA 4/2016 sejatinya memang sesuai dengan filosofi Praperadilan yang harus dilakukan secara cepat. Oleh karena itulah, putusan Praperadilan tidak mengenal upaya hukum biasa dan luar biasa. Dalam praktiknya, KUHAP memang melarang upaya hukum biasa dan banding dalam Praperadilan. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 83 ayat (1) yang menyebutkan, “Terhadap putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding”.

 

Kendati demikian, terhadap pengecualian atas diperbolehkannya mengajukan banding dalam mekanisme Praperadilan diatur dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Namun MK dalam putusan No:65/PUU-IX/2011 menghapus ketentuan tersebut. Dengan demikian, terhadap putusan Praperadilan tidak lagi dapat dilakukan banding.

 

Demikian pula pelarangan kasasi terhadap putusan Praperadilan yang diatur dalam Pasal 45 A UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.5 Tahun 2004  tentang Perubahan atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Khususnya tertuang dalam Pasal 45 A ayat (1) dan (2). Ayat (1) menyebutkan, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang ini dibatasi pengajuannya”.

 

Ayat (2) menyebutkan, “Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. putusan tentang praperadilan; b. perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda; c. perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait