Artificial Intelligence dalam Industri Hukum, Menyongsong Masa Depan Dunia Hukum Tanpa Hakim dan Lawyer?
Techlaw.Fest 2018: Where Law of Tech Meets Tech of Law

Artificial Intelligence dalam Industri Hukum, Menyongsong Masa Depan Dunia Hukum Tanpa Hakim dan Lawyer?

Tantangan bagi sarjana hukum untuk mampu beradaptasi dan berinovasi dengan kemajuan teknologi.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Hakim Aedit Abdullah (kiri) dan Seng Siew Lim (tengah). Foto: NEE
Hakim Aedit Abdullah (kiri) dan Seng Siew Lim (tengah). Foto: NEE

Bayangkan masa depan dunia hukum di mana peradilan dilakukan tanpa kehadiran fisik para pihak di ruang pengadilan karena cukup secara telekonfrensi. Kontrak bisnis bersama-sama disusun mandiri oleh para pihak dalam sambungan internet di depan komputer. Bahkan perusahaan tidak lagi mempekerjakan orang untuk divisi hukum. Dalam kondisi itu, posisi hakim dan lawyer tidak lagi dijalankan sosok manusia bergelar sarjana hukum melainkan artificial intelligence.

 

Kemajuan teknologi di era revolusi industri 4.0 telah mengubah cara orang-orang di era digital berinteraksi dengan hukum. Tidak hanya memaksa regulator mengubah pendekatannya, para profesional hukum dan aparat penegak hukum pun harus beradaptasi. Ada 3 sebab yang dikemukakan oleh Hakim Aedit Abdullah dari Mahkamah Agung Singapura: kehadiran artificial intelligence, komodifikasi hukum, dan semakin mudahnya komunikasi.

 

Mewakili otoritas hukum Singapura, Abdullah menjelaskan kepada hadirin Techlaw.Fest 2018, Kamis (5/4), di Suntec Singapore Convention & Exhibition Centre bahwa mungkin suatu saat para pihak yang berperkara tidak lagi membutuhkan advokat sebagai penyedia jasa layanan hukum. Pengguna jasa advokat selama ini mulai dari konsultasi hukum, pembuatan kontrak bisnis, hingga beracara dalam perkara di pengadilan kelak bisa memilih beragam artificial intelligence untuk industri hukum yang saat ini marak dikembangkan.

 

Sebelumnya hukum terasa rumit bagi banyak orang awam. Kehadiran konsultan hukum sangat dibutuhkan bagi mereka yang berurusan dengan segala urusan hukum. Namun saat ini telah tersedia artificial intelligence yang menampung segala algoritma logika hukum untuk memberikan opini atas beragam situasi hukum. Tersedia pula artificial intelligence yang mampu menyusun rancangan kontrak lengkap cukup dengan memproses input data-data syarat dan ketentuan dari para pihak.

 

Abdullah menambahkan bahwa ada kenyataan lain soal komodifikasi di mana jasa hukum diperlakukan lebih sebagai komoditas alih-alih upaya memperoleh keadilan. Pengguna jasa hukum mencari efisiensi dalam biaya yang harus dikeluarkan dan efektifitas atas kebutuhannya. Menggunakan jasa lawyer mungkin tidak lagi menarik jika artificial intelligence sudah cukup memenuhinya.

 

(Baca Juga: Era Ekonomi Digital dan Tantangan Menghadirkan Barang Bukti Digital di Pengadilan)

 

Pada saat yang sama, beragam sistem hukum dunia yang tergabung dalam keluarga hukum besar semakin konsisten menyamakan asas-asas hingga model normatifnya. Hal ini memudahkan komunikasi untuk mencapai kesepahaman atas beragam urusan hukum yang terjadi lintas yurisdiksi.

 

“Misalnya keluarga hukum common law, tidak ada kebutuhan lagi menggunakan jasa lawyer Inggris karena di Singapura sudah ada lawyer yang memahaminya. Nah ditambah saat ini ada artificial intelligence, ada teknologi hukum berbasis internet, 10 tahun kedepan kita di Singapura mungkin sudah bisa berperkara tanpa lawyer,” katanya.

Tags:

Berita Terkait