MA Berencana Naikkan Biaya Judicial Review 5 Kali Lipat
Utama

MA Berencana Naikkan Biaya Judicial Review 5 Kali Lipat

“Layaknya orang miskin dilarang sakit, orang miskin juga dilarang berperkara’.

Oleh:
CR-25
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES

Baru-baru ini beredar kabar bahwa Mahkamah Agung akan menaikkan biaya perkara untuk judicial review, dari yang sebelumnya sebesar Rp1 juta menjadi Rp5 juta. Rencana menaikkan biaya JR tersebut dituangkan MA melalui revisi Perma No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

 

Saat dikonfirmasi hukumonline  Senin (9/4) malam, Kabag Humas Mahkamah Agung, Abdullah, membenarkan kabar yang beredar tersebut. Ia menyebut bahwa memang MA sudah merencanakan untuk menaikkan biaya perkara Judicial Review menjadi Rp5 juta dan sudah dalam bentuk draft Perma yang saat ini sudah ada di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Dinaikkannya biaya perkara, disebut Abdullah untuk keperluan mengumumkan putusan.

 

“Itu draft nya sudah sampai Menkumham sejak Desember 2017, tapi sampai sekarang belum turun,” kata Abdullah.

 

Kebijakan MA menaikkan biaya perkara hingga 5 kali lipat tersebut jelas mengundang protes keras dari kalangan pengamat dan masyarakat. Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Feri Amsari, menyebut bahwa kebijakan ini merupakan bukti bahwa asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan sudah mulai ditinggalkan. Melalui kebijakan ini, kata Feri, masyarakat yang tidak mampu akan semakin jauh dari akses keadilan.

 

(Baca: Tahun 2017, Kontribusi MA Terhadap Negara Capai 18 Triliun)

 

Logikanya, jelas Feri, mengapa pengujian aturan tidak sepatutnya dipungut biaya adalah agar masyarakat bisa memperjuangkan haknya kapan saja, tanpa harus menunggu ‘kapan gajian’, tanpa harus ‘berhutang’ atau menggadaikan barang hanya untuk dapat mengajukan JR.

 

Menurut Feri, dalam pembentukan aturan ada kekuasaan di situ dan potensi menyimpang pasti ada. Melalui JR inilah masyarakat diberikan ruang untuk mengkritik aturan buatan pemerintah, sehingga menjadi rancu jika masyarakat sebagai korban harus dipungut biaya besar.

 

“Tendensi pemerintah untuk mengeluarkan aturan yang merugikan masyarakat sangat tinggi, menjadi tidak logis jika korban aturan itu yang justru bertanggungjawab mengeluarkan biaya mahal,” tukas Feri dalam diskusi bertajuk “Transparansi Peradilan & Membenahi Persidangan Tertutup di Mahkamah Agung” yang diadakan ICW, Senin (9/4).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait