Pungli dan Pengadilan
Kolom

Pungli dan Pengadilan

​​​​​​​Setidaknya ada dua modus yang sering digunakan dalam praktik pungli di pengadilan.

Bacaan 2 Menit
Siska Trisia. Foto: Dokumen Pribadi
Siska Trisia. Foto: Dokumen Pribadi

Korupsi lembaga peradilan masih menjadi permasalahan yang tak kunjung usai di Indonesia. Berdasarkan catatan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk hingga kini, setidaknya ada 27 Hakim dan Panitera yang tertangkap oleh KPK karena terjerat kasus korupsi.

 

Bahkan hakim pengadilan tipikor yang seharusnya mengadili perkara korupsi pun juga ikut terjerat kasus korupsi, sebut saja Dewi Suryana, Kartini Marpaung dan beberapa hakim tipikor lainnya. Yang terbaru Hakim Wahyu Widya Nurfitri dan Panitera Tuti Atika di P engadilan Negeri Tangerang. Keduanya di tangkap oleh KPK atas dugaan penerimaan suap dalam pengurusan perkara perdata yang akan disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.

 

Fenomena korupsi di pengadilan bukan saja terjadi dalam bentuk suap kepada panitera atau hakim di Pengadilan. Dalam penelitian MaPPI FHUI tahun 2017, praktik koruptif dalam lembaga peradilan juga terjadi dalam bentuk pungutan liar (pungli). Hingga kini masih banyak ditemukan praktik pungli yang dilakukan oleh oknum pengadilan dalam memberikan layanan publik kepada masyarakat. Praktik koruptif ini bahkan masih ditemukan di Jakarta dan kota besar lainnya seperti Medan, Serang, Bandung, Malang dan Yogyakarta.

 

Praktik pungli di pengadilan umumnya dilakukan oleh oknum panitera dan panitera muda hukum. Hal ini dikarenakan kedua posisi tersebut memiliki posisi yang cukup strategis dalam memberikan pelayanan publik bagi masyarakat. Keduanya memiliki akses untuk berhubungan langsung dengan masyarakat pencari keadilan terutama dalam hal pendaftaran surat kuasa dan pengambilan salinan putusan kasus perdata dan pidana.

 

Setidaknya ada dua modus yang sering digunakan dalam praktik pungli di pengadilan. Pertama, pengenaan biaya layanan tambahan di luar ketentuan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tanpa disertakan bukti bayar yang resmi. Dari dua layanan dasar pengadilan di 5 pengadilan negari masih ditemukan adanya pengenaan biaya Rp10 ribu hingga Rp100 ribu untuk layanan pendaftaran surat kuasa dan Rp50 ribu hingga Rp500 ribu untuk layanan salinan putusan.

 

Padahal jika mengacu pada aturan PNBP dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, untuk mendaftarkan surat kuasa para pihak hanya diwajibkan membayar Rp5 ribu dan Rp300/lembar putusan untuk salinan putusan. Pengenaan biaya di luar PNBP juga dilakukan dengan tidak memberikan bukti bayar kepada pengguna layanan.

 

Kedua, permintaan uang lelah oleh oknum pengadilan. Permintaan uang lelah ini pada umumnya dimintakan di akhir pemberian layanan dengan besaran yang beragam. Hal ini juga dibuktikan dengan berlarut larutnya lama waktu pelayanan yang diberikan kepada para pihak apabila uang yang dimintakan tidak dipenuhi oleh pengguna layanan. Alasannya untuk mendapatkan layanan prima uang “lelah” tentu sudah sewajarnya dibayarkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait