Perintah Penetapan Tersangka Lampaui Kewenangan Hakim Praperadilan
Berita

Perintah Penetapan Tersangka Lampaui Kewenangan Hakim Praperadilan

DPR diminta perlu segera bertindak untuk mengatasi aturan hukum acara praperadilan yang tidak lengkap.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: BAS
Foto ilustrasi: BAS

Terbitnya putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang memerintahkan sejumlah nama untuk ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupi dana talangan Bank Century menimbulkan kontroversi. Pasalnya, permohonan yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang diputus Hakim tunggal Effendi Mukhtar ini dinilai melampaui batas kewenangan seorang hakim praperadilan.        

 

Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Pancasila Redha Mantovani menilai putusan praperadilan itu menyimpang secara fundamental. Sebab, putusan praperadilan bernomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jaksel tidak sesuai dengan rambu-rambu yang ditentukan dalam KUHAP dan Peraturan MA. “Lagi-lagi lahir putusan praperadilan yang menyimpang secara fundamental,” ujar Redha kepada Hukumonline, Kamis (4/12/2018).

 

Dia merujuk Pasal 2 ayat (1) Peraturan MA (Perma) No.4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan disebutkan, “Obyek Praperadilan adalah: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”.

 

“Pemeriksaan praperadilan hanya sebatas aspek formil, bukan substansi perkara. Namun faktanya, putusan tersebut hakim memutuskan di luar kewenangannya. Bahkan cenderung menjadi putusan yang menyimpang secara fundamental,” ujar Redha.

 

Menurutnya, efek dari putusan praperadilan PN Jaksel yang menyimpang secara fundamental itu menimbulkan persoalan baru. Sebab, merujuk pada Perma No. 4 Tahun 2016 itu, putusan praperadilan tidak bisa diajukan upaya hukum biasa (kasasi) maupun luar biasa (PK). Makanya, koreksi terhadap putusan yang menyimpang secara fundamental itu belum ditemukan solusinya.   

 

“Perma 4 Tahun 2016 hanya mengatur pengawasan terhadap perilaku hakim menjalankan tugas praperadilan, meminta keterangan teknis pemeriksaan, hingga putusan praperadilan yang dianggap menyimpang secara fundamental itu.” Baca Juga: MA Terbitkan 14 Perma Sepanjang 2016, Cek Daftarnya

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Yenti Ganarsih berpandangan seharusnya tugas hakim mengadili dan memutus perkara sesuai batas kewenangannya. Meskipun hakim boleh bersikap progresif, tentu tak boleh pula melanggar hukum acara pidana, dalam hal ini hukum acara praperadilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait