Wapres, Jabatan Tidak Strategis yang Selalu Jadi Rebutan
Kolom

Wapres, Jabatan Tidak Strategis yang Selalu Jadi Rebutan

​​​​​​​Dalam hal Presiden dan Wapres bersama-sama dipilih langsung melalui pemilu maka hal itu tidak menjadikan Presiden dan Wapres berbagi kekuasaan dengan seakan-akan masing-masing memegang separuh saham dari kekuasaan pemerintahan.

Bacaan 2 Menit
Roziqin Matlap. Foto: Dokumen Pribadi
Roziqin Matlap. Foto: Dokumen Pribadi

Akhir-akhir ini kita banyak membaca dan mendengar, para politisi dan pakar digadang-gadang menjadi Wakil Presiden (Wapres). Mereka pun sudah menyatakan minatnya menjadi Calon Wapres (Cawapres), baik yang dengan terang-terangan dengan deklarasi dan pasang spanduk di mana-mana, maupun yang masih malu-malu.

 

Sejumlah nama mengemuka di publik. Mulai dari politisi muda Agus Harimurti Yudhoyono, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Gubernur NTB TGB Muhammad Zainul Majdi, para ketua umum partai politik mulai dari Ketua Umum PPP Romahurmuzi, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra, dan beberapa tokoh partai PKS. Bahkan anehnya, Ketua MPR Zulkifli Hasan, yang juga sekaligus Ketua Umum PAN, yang bisa memberhentikan Presiden, dan mantan Ketua MK Mahfud MD yang bisa memutus bersalah/tidaknya Presiden, juga berminat menjadi Wapres.

 

Entah apa yang dicari oleh mereka hingga harus mengeluarkan banyak tenaga dan biaya demi menjadi Cawapres. Secara normal, penghasilan Wapres masih kalah dari pengusaha, konsultan, advokat, direksi atau komisaris BUMN. Dari segi kekuasaan, Wapres juga tidak signifikan. Saya yakin, Cawapres yang pakar tata negara sekelas Yusril Ihza Mahendra dan Mahfud MD, paham betul hal ini.

 

Sebagian Cawapres dan masyarakat mungkin memandang, bahwa dengan kuatnya kedudukan dan kekuasaan Presiden, maka jabatan Wapres menjadi jabatan strategis. Namun demikian, jabatan Presiden merupakan jabatan tunggal, yaitu diisi oleh satu orang pemangku jabatan, yang disebut Presiden.

 

UUD 1945 tidak memberi kejelasan mengenai peran Wapres, hanya menyebutkan bahwa dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wapres. Wapres akan menggantikan Presiden ketika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. Dengan demikian, Wapres berguna kalau Presiden berhalangan tetap dengan cara Wapres otomatis menjadi Presiden.

 

Bila Presiden hanya sekadar berhalangan sementara, maka Wapres tidak otomatis bisa melaksanakan tugas Presiden, tetapi harus ada penugasan khusus untuk itu. Dengan demikian, peranan Wapres hanya seperti "ban serep". Selama Presiden tidak mengalami halangan tetap, selama itu pula Wapres hanya berfungsi membantu. Tetapi membantu dalam hal atau bidang apa, demikian pula sejauh mana kewenangan dan tanggung jawabnya, tidak terdapat  ketentuan yang jelas.

 

UUD 1945 tidak mengatur dan menentukan pembagian tugas antara Presiden dengan Wapres serta tidak memberikan rumusan-rumusan yang rinci mengenai kedudukan, tugas atau tanggung jawab Wapres, serta pola hubungan kerjasama atau pembagian tugas antara Presiden dan Wapres.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait