Industri Asuransi Minta OJK Tegas Batasi Engineering Fee
Berita

Industri Asuransi Minta OJK Tegas Batasi Engineering Fee

Selama ini, broker dinilai menjadi pihak yang paling diuntungkan dari “kue” premi industri asuransi. OJK diminta bertindak tegas mengatur besaran tarif demi kepentingan industri.

Oleh:
CR-26
Bacaan 2 Menit
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES

Pelaku usaha industri asuransi meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas mengatur dengan tegas tentang batasan tarif komisi dari layanan jasa berupa survei risiko yang diperoleh dari pihak ketiga atau broker atau akrab disebut engineering fee. Selama ini, penetapan engineering fee tersebut dinilai terlalu tinggi dari tarif yang seharusnya dibayarkan perusahaan asuransi kepada broker.

 

Direktur Utama PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) alias Indonesia Re, Frans Y Sahusilawane mengatakan tidak terkendalinya tarif komisi broker tersebut berdampak terhadap terganggunya kegiatan bisnis industri asuransi di Indonesia. Sehingga, Frans mengimbau OJK segera mencari cara agar persoalan tersebut agar tidak berlarut.

 

“Tentunya kami sangat mengapresiasi langkah dari OJK untuk mengatur engineering fee. Kami minta ketegasan OJK agar hal ini tidak terus bergulir kedepannya,” kata Frans dalam acara Badan Pengelolaan Pusat Data Asuransi Nasional (BPPDAN) Gathering di Jakarta, yang dikuti dari Antara, Sabtu (21/4).

 

Secara defenisi, engineering fee merupakan biaya survei risiko yang ditanggung perusahaan asuransi umum. Dalam praktiknya, perusahaan tersebut menggunakan broker atau perantaradalam melaksanakan tugas tersebut. Secara teknis, beban engineering fee tersebut menggerus keuntungan perusahaan asuransi.

 

Penetapan engineering fee tersebut sebenarnya telah diatur dalam Surat Edaran (SE) OJK Nomor 21/SEOJK 05/2015 tentang Penetapan Tarif Premi atau Kontribusi pada Lini Usaha Asuransi Harta Benda dan Asuransi Kendaraan Bermotor. Semula, perusahaan perantara tersebut meminta engineering fee sebesar 2,5-5% dari premi namun ternyata realisasinya di atas batasan tersebut.

 

“Namun, entah mengapa engineering fee tersebut berkembang tidak terkendali hingga pada tarif yang tidak masuk di akal,” kata Frans.

 

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Dadang Sukresna mengatakan engineering fee yang tak terkendali memberatkan keuangan perusahaan asuransi. Menurutnya, profit yang diterima perusahaan tergerus akibat tingginya engineering fee tersebut.

Tags:

Berita Terkait