Jaleswari Pramodhawardani: Srikandi dari Kantor Staf Presiden
Srikandi Hukum 2018

Jaleswari Pramodhawardani: Srikandi dari Kantor Staf Presiden

Meskipun bukan berlatar belakang pendidikan hukum, Dani mendapat amanah untuk mengurusi bidang politik, hak asasi manusia, dan hukum.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Jaleswari Pramodhawardani. Foto: RES
Jaleswari Pramodhawardani. Foto: RES

Dalam suatu acara Rapat Konsultasi Penataan Regulasi di kantor Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Februari lalu, Jaleswari Pramodhawardani merasa perlu menyampaikan pengakuan sebelum paparan. “Saya bukan orang hukum,” ujarnya.

 

Ratusan peserta rapat konsultasi itu memang rata-rata berasal dari biro hukum atau direktorat hukum dari Kementerian/Lembaga (K/L). Sebagian peserta adalah ahli hukum yang sengaja diundang BPHN untuk memberikan masukan. Jaleswari menjadi salah seorang pembicara kunci mewakili Kantor Staf Presiden. Ceramahnya berkaitan dengan program hukum dan penataan regulasi oleh pemerintah.

 

Sejatinya, Jaleswari Pramodhawardani bukan ‘orang hukum’. Pendidikan dan perjalanan karirnya lebih banyak berkaitan dengan politik. Publik juga banyak mengenal tulisan dan komentar-komentarnya di bidang pertahanan. Lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, dan Pusat Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, Jaleswari menghabiskan waktunya sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

 

Saat penelitian inilah Dani –begitu ia biasa disapa—menggeluti berbagai bidang, tak melulu masalah politik. Ia mulai intens bersentuhan dengan isu-isu hak asasi manusia dan hukum. Bahkan ia kemudian diangkat menjadi Kepala Bidang Penelitian Hukum di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.

 

(Baca juga: Perlu Dipahami! Pemerintah Tetapkan 5 Dimensi Penataan Regulasi Nasional)

 

Tidak mengherankan, Dani sering diminta berpartisipasi dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, atau rancangan jenis peraturan lain, terutama yang berkaitan dengan politik, HAM, dan pertahanan. Tetapi lingkup penelitiannya jauh lebih beragam, antara lain karena pergaulannya yang juga luas. Ini bisa dilihat dari karya yang melibatkan Dani seperti: Munir: Sebuah Kitab Melawan Lupa (Mizan, 2004), Perlindungan Buruh Migran Perempuan Indonesia di Malaysia (LIPI Press, 2008), dan penelitian bertema Perempuan dan HAM (2012-2014).

 

Penelitian dan kajian yang dilakukan Dani cenderung menggunakan perspektif budaya seperti budaya hukum, politik, dan perempuan. Gerakan reformasi yang muncul 1998 mendorongnya untuk menggeluti berbagai bidang tersebut. “Saya menduga situasi politik saat itu memang menjadi pendorong untuk menekuni bidang itu,” katanya kepada hukumonline, Jumat (16/3).

 

Kajian tentang militer yang pertama kali dikerjakan Dani bertema Hegemoni Militerisme terhadap Kesadaran Sipil. Hasil penelitian itu menunjukan selama pemerintahan orde baru berkuasa puluhan tahun menggunakan gaya militeristik, masyarakat tanpa sadar mengadopsi budaya militerisme.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait