Astriyani: Menghibahkan Diri untuk Reformasi Peradilan yang Lebih Baik
Srikandi Hukum 2018

Astriyani: Menghibahkan Diri untuk Reformasi Peradilan yang Lebih Baik

Uang tidak menjadi prioritas Astriyani dalam memilih pekerjaan, melainkan passion untuk menggeluti isu peradilan serta pekerjaan yang membuat ilmunya bermanfaat bagi banyak orang.

Oleh:
CR-25
Bacaan 2 Menit
Astriyani. Foto: Istimewa
Astriyani. Foto: Istimewa

Bagi sebagian mahasiswa hukum, menjadi seorang peneliti bukanlah pilihan utama. Selain erat dengan image beban kerja berat dan gaji tak sepadan, tentu saja ada banyak pilihan lain dengan gaji yang jauh menggiurkan seperti lawyer, in house, hakim, jaksa atau lainnya. Bahkan tak jarang mahasiswa hukum yang hanya menjadikan pekerjaan peneliti sebagai jumping stone untuk kariernya ke depan. Lain halnya dengan ibu 4 anak ini yang justru jatuh cinta semenjak bergabung sebagai peneliti setelah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI).

 

Hampir 15 tahun lamanya, Astriyani yang akrab disapa Aci bertahan sebagai seorang peneliti hukum. Berawal dari sekadar “iseng” melamar pekerjaan di Lembaga Advokasi dan Independensi Peradilan (LeIP), hingga akhirnya diterima bekerja di Leip pada tahun 2003 telah mengantarkan Aci sebagai seorang peneliti hukum yang kompeten terhadap isu-isu peradilan.

 

Buah dari konsistensi Aci dalam menekuni isu peradilan tampak dari mulai banyaknya permintaan pandangan dari berbagai stakeholder seperti Kemenkumham, Kantor Staff Presiden, BPHN, Bappenas dan lain-lain soal perencanaan anggaran di sektor hukum, penyusunan program di sektor peradilan hingga berbagai riset soal permasalahan yang dihadapi institusi peradilan.

 

Untuk melihat bagaimana hasil risetnya bekerja, wanita kelahiran 1980 ini tak segan-segan melakukan advokasi langsung ke lapangan. Seperti riset yang dilakukan Aci pada tahun 2009 tentang Pengawasan Hakim yang saat itu ditindaklanjuti Mahkamah Agung (MA) dalam bentuk Pedoman Penanganan Pengaduan Masyarakat yang mencakup investigasi dugaan pelanggaran perilaku hakim, penjatuhan disiplin, penerimaan pengaduan, dan sebagainya.

 

Pada tahun 2013, Aci mendapat salah satu perkara tidak diadili secara adil (fair trial) di sebuah pengadilan di daerah Jakarta, bahkan prosedur penanganan pengaduan yang sudah dicetuskan LeIP bersama MA sejak tahun 2009 itu tidak diterapkan pada pengadilan yang bersangkutan. Di situlah Aci merasa tertantang untuk meng-excercise sistem yang telah ia buat. Berbekal bukti-bukti kuat yang telah terkumpul selama proses berjalannya perkara tersebut, Aci mendampingi pihak yang berperkara untuk mengajukan pengaduan ke Badan Pengawasan.

 

“Saat itu saya dampingi pihak yang berperkara untuk bikin pengaduan, saya beritahu cara melengkapi bukti untuk mendukung pengaduan yang disampaikan, terus saya temenin untuk masukin pengaduan ke badan pengawasan,”kata Aci kepada hukumonline akhir Maret lalu.

 

Rasa puas tak terhingga saat diketahui bahwa hasil risetnya berbuah manis, yakni Mahkamah Agung menindaklanjuti pengaduan yang ia sampaikan. Sebagai dampak dari pengaduan tersebut, diketahui kemudian bahwa aparatur pengadilan yang bersangkutan telah dikenai hukuman disiplin dengan dimutasi ke daerah Jawa Timur. Padahal seharusnya aparatur pengadilan tersebut akan memperoleh sejenis promosi kenaikan jabatan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait