Ahli: Pemanggilan Paksa DPR Mesti Dimaknai Pengawasan terhadap Pemerintah
Berita

Ahli: Pemanggilan Paksa DPR Mesti Dimaknai Pengawasan terhadap Pemerintah

Menanggapi tiga permohonan lain, pemerintah tetap pada pendiriannya sebagaimana yang telah disampaikan dalam Keterangan Presiden empat permohonan sebelumnya.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Zainal Arifin Mochtar (tengah) dan Sony Maulana Sikumbang (kiri) saat memberi pandangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji materi UU MD3 di Gedung MK Jakarta, Kamis (19/4). Foto: Humas MK
Zainal Arifin Mochtar (tengah) dan Sony Maulana Sikumbang (kiri) saat memberi pandangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan uji materi UU MD3 di Gedung MK Jakarta, Kamis (19/4). Foto: Humas MK

Aturan hak pemanggilan paksa oleh DPR dengan bantuan polisi dalam Pasal 73 UU No. 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) mesti dimaknai sebagai fungsi pengawasan DPR kepada pemerintah. Sebab, apabila dimaknai setiap orang dapat dipanggil paksa oleh DPR dalam rangka menjalankan tugas dan fungsi justru akan membahayakan.

 

“Seharusnya pasal a quo dikembalikan kepada konsep pengawasan DPR kepada pemerintah. Apabila konsep pengawasan DPR ditujukan ke rakyat (setiap orang) justru tak sesuai dengan fungsi dan peran DPR,” ujar pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar saat memberi pandangan sebagai ahli Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian UU MD3 di Gedung MK Jakarta, Kamis (19/4/2018).    

 

Zainal menegaskan fungsi pengawasan DPR hanya ditujukan kepada pemerintah dalam rangka menjalankan UU. “Jika mau diterapkan, maka hanya diterapkan terhadap orang yang sedang dilakukan upaya penyelidikan atau angket terhadapnya (pemerintah,” tegas Zainal di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.

 

Dia menilai Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6) menggambarkan penguatan konsep pemanggilan paksa bagi orang yang dinilai menghina martabat DPR. Padahal, proses hukum adalah ranah penegak hukum. “Pasal ini justru menerangkan proses hukum (seolah) dapat dilakukan DPR dengan menggunakan Polri melakukan pemanggilan paksa dan penahanan pada orang yang menghina DPR,” ujar ahli Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 ini.  

 

Baginya, Pasal 122 huruf i UU MD3 adalah pasal karet. Sebab, Anggota DPR dapat menggunakan pasal ini untuk menindak secara hukum orang yang dianggap melecehkan martabat mereka. Di sisi lain, ruang publik nantinya akan dipenuhi perdebatan sejauh mana batasan tentang tindakan yang dianggap merendahkan/melecehkan martabat DPR.

 

Ahli Pemohon lain Perkara No. 18/PUU-XVI/2018, Sony Maulana Sikumbang menilai penambahan kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR inkonsisten dan tidak efektif.

 

“Ini menunjukkan kealpaan memberi perhatian atas terjaminnya konsistensi pengaturan dalam mengatasi permasalahan penegakan martabat dan keluhuran DPR,” kata Sony yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.  

Tags:

Berita Terkait