Tanggung Jawab Hukum Pengusaha dalam Kasus Pelecehan
Kolom

Tanggung Jawab Hukum Pengusaha dalam Kasus Pelecehan

Terdapat perbedaan implementasi ajaran Vicarious Liability terkait kasus pelecehan antara pengaturan di Amerika Serikat dan di Indonesia.

Nugroho Eko Priamoko. Foto: Dokumen Pribadi
Nugroho Eko Priamoko. Foto: Dokumen Pribadi

Beberapa waktu yang lalu dunia hiburan dikejutkan dengan berita pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang produser film Hollywood terhadap lebih dari 100 artisnya dalam kurun waktu bertahun-tahun. Seorang artis menceritakan bahwa ia dan artis lainnya selama ini bungkam karena takut dengan ancaman sang produser. Kasus pelecehan memang banyak terjadi terhadap seorang yang memiliki posisi lebih inferior, misalnya antara atasan dan bawahan dalam kasus pelecehan di tempat kerja.

 

Selama ini sudah cukup banyak tulisan yang mengulas mengenai kasus pelecehan di tempat kerja, terutama terkait dengan pengertian dan ruang lingkup serta dampak dan penanganan lebih lanjut dari korban. Untuk memperkaya khasanah pemahaman tentang pelecehan di tempat kerja – terutama pelecehan sexual, penulis bermaksud menyampaikan pandangan terkait aspek tanggung jawab hukum pengusaha. Untuk memperkaya wawasan kita penulis akan mengambil perspektif perbandingan hukum.

 

Merujuk pada pendapat Satjipto Rahardjo, metode perbandingan hukum dipergunakan untuk membandingkan sistem hukum positif satu bangsa dengan bangsa lain. Dengan metode ini selain bisa menganalisasi perbedaan dan persamaan, kita juga bisa memikirkan kemungkinan-kemingkinan yang bisa ditarik sebagai kelanjutan studi kita.[1]

 

Pengaturan di AS

Salah satu negara yang cukup maju dalam pengaturan mengenai kasus pelecehan adalah Amerika Serikat. Di negara tersebut dibentuk satu badan yang memiliki kewenangan untuk melakukan upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap tindakan diskriminasi yang dilakukan karena faktor ras, warna kulit, agama dan sex, termasuk di dalamnya adalah kasus pelecehan karena keempat faktor tersebut. Badan dimaksud adalah Equal Employment Opportunity Commission (EEOC). Untuk upaya pencegahan EEOC melakukan tindakan edukasi, mengeluarkan panduan dan juga memberikan bantuan teknis. Pada tahun 1999 EEOC mengeluarkan panduan Nomor 915.002[2] yang mengatur tanggung jawab hukum pengusaha atas tindakan pelecehan yang terjadi di lingkungan kerjanya.

 

Panduan tersebut dibuat dengan mengacu pada Putusan Mahkamah Agung AS dalam perkara Burlington Industries, Inc. v. Ellerth dan Faragher v. City of Boca Raton. Seperti diketahui AS adalah negara yang menganut sistem common law di mana sumber hukum utama adalah putusan pengadilan. Dalam panduan disebutkan bahwa pengusaha akan dianggap bertanggung jawab secara vicarious liability atas tindakan pelecehan yang dilakukan oleh para supervisor/atasan di dalam perusahaannya. Vicarious liability adalah doktrin yang meletakkan tanggung jawab hukum kepada seseorang atas tindakan yang dilakukan oleh orang lain yang berada di bawah pengawasannya, misalnya pengusaha yang bertanggung jawab atas tindakan pekerjanya.[3]

 

Terkait ajaran Vicarious Liability ini, menarik untuk dikaji mengapa seorang harus bertanggung jawab atas tindakan orang lain, dalam hal ini pengusaha atas tindakan pekerjanya. Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa alasannya terletak pada dua sifat hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja. Sifat pertama adalah adanya sifat pengawasan atas pekerja yang diletakkan di atas pundak pengusaha. Sifat kedua adalah sifat pemberian kuasa oleh pengusaha kepada pekerja yang menarik pengusaha dalam risiko perekonomian dari perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh pekerja.[4]

 

Sarjana lain, JW Neyers menyampaikan bahwa ada beberapa alasan mengapa seorang pengusaha harus bertanggung jawab atas tindakan pekerjanya. Antara lain adalah karena pengusaha lah yang mengendalikan aktivitas pekerjanya, dan ia yang memiliki kemampuan ekonomi untuk menanggung ganti rugi serta melakukan upaya pencegahan. Namun alasan yang paling mendasar adalah adanya janji diam-diam (implied promise) yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerjanya melalui perjanjian kerja, bahwa ia akan bertanggung jawab atas risiko hukum yang mungkin dialami oleh pekerja dalam menjalankan pekerjaannya.[5]

Tags:

Berita Terkait