Mengurai Penyimpangan Putusan Praperadilan yang Menetapkan Tersangka
Kolom

Mengurai Penyimpangan Putusan Praperadilan yang Menetapkan Tersangka

​​​​​​​Cara ampuh yang mesti dilakukan dalam rangka membenahi hukum acara praperadilan dengan segera melakukan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ketimbang tambal sulam.

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: dok. pribadi
Reda Manthovani. Foto: dok. pribadi

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan putusan praperadilan Nomor:24/Pid.Pra/2018/PN.JKT.SEL yang intinya, mengabulkan permohonan praperadilan terkait kasus dugaan korupsi Bank Century. Pemohon praperadilan yakni Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap termohon Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah itu dinilai tidak melanjutkan proses penyidikan kasus Century. Itu sebabnya dalam rangka mengetahui perkembangan tindaklanjut perkara tersebut, MAKI pun mengajukan praperadilan.

 

Melalui tangan hakim tunggal praperadilan Effendi Muchtar, putusan praperadilan tersebut membuat banyak pasang mata terbelalak. Simak saja, salah satu isi putusannya menyebutkan “Memerintahkan Termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan Penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap  Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk, (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama Terdakwa BUDI MULYA) atau melimpahkannya kepada Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat”.

 

Putusan praperadilan tersebut mengundang beragam pandangan. Sebab putusan tersebut dipandang menimbulkan kontroversi. Bahkan dianggap sebagai dari sekian satu putusan praperadilan yang dianggap menyimpang secara fundamental di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menjadi pertanyaan, mengapa disebut putusan menyimpang secara fundamental?

 

Pertama, dalam rangka menjawaban atas pertanyaan di atas, maka perlu pula mengurai terlebih dahulu kronologis pengaturan praperadilan. Yakni sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, putusan Mahkamah Konstitusi maupun dalam Peraturan Mahkamah Agung. Mekanisme pengujian terhadap sah tidaknya upaya paksa berupa ‘tindakan penangkapan dan atau penahanan kemudian sah tidaknya penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan’  diatur dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Pasal 1 butir 10 KUHAP menyebutkan, Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

 

Kemudian, kewenangan praperadilan diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor:21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015. Inti putusan MK tersebut yakni, memperluas mekanisme pengujian praperadilan, dengan menambah objeknya berupa penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

 

Dalam mengkompilasi pengaturan tentang praperadilan, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan  Mahkamah Agung (PERMA) No.4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dalam PERMA 4/2016 khususnya Pasal 2 ayat (1) menyebutkan, “Obyek Praperadilan adalah: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”.

Tags:

Berita Terkait