4 Konsekuensi Jika Pembentukan Peraturan Tanpa Naskah Akademik
Utama

4 Konsekuensi Jika Pembentukan Peraturan Tanpa Naskah Akademik

Jika ada Naskah Akademik, peraturan perundang-undangan yang dihasilkan bisa lebih baik.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi naskah akademik peraturan perundang-undangan. Ilustrator: HGW
Ilustrasi naskah akademik peraturan perundang-undangan. Ilustrator: HGW

Naskah Akademik (NA) adalah bagian penting dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Memang, tidak semua jenis peraturan perundang-undangan mengharuskan NA. Tetapi NA akan menjadi acuan untuk mengetahui arah penyusunan suatu rancangan peraturan perundang-undangan.

 

Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, NA adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan atau kebutuhan hukum masyarakat.

 

Apakah NA alias academic draft itu bersifat wajib? Rumusan UU No. 12 Tahun 2011 hanya menyebut RUU dan Ranperda ketika menyebutkan langsung perlunya NA. Jenis peraturan perundang-undangan lain tak disebut sama sekali wajib tidaknya menggunakan NA. Tetapi dalam praktik, seringkali NA dipersiapkan dalam pembuatan rancangan peraturan selain RUU dan Perda.

 

(Baca juga: DPR Akui Penyelesaian RUU Prolegnas Tidak Optimal)

 

Pengamat ilmu perundang-undangan, Bayu Dwi Anggono, menunjuk ketentuan Pasal 43 ayat (3), Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 40 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 43 ayat (3) menyebutkan: “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik”. Selanjutnya Pasal 44 ayat (1) menyatakan penyusunan Naskah Akademik RUU dilakukan sesuai dengan teknis penyusunan Naskah Akademik. Pasal 33 ayat (3) menyebutkan materi yang diatur sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.

 

Sepengetahuan Bayu, belum ada Undang-Undang yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena RUU-nya tak memiliki Naskah Akademik. “Uji formil MK, sepengetahuan saya, belum pernah batalkan UU karena tidak ada naskah akademiknya,” jelas dosen Fakultas Hukum Universitas Jember itu.

 

(Baca juga: Dimana Mendapatkan Naskah Akademik Suatu Undang-Undang)

 

Meskipun tak ada kewajiban khusus untuk semua jenis peraturan perundang-undangan, ada konsekuensi yang timbul jika NA diabaikan. Konsekuensi ini juga disinggung dalam putusan Mahkamah Agung No. 49P/HUM/2017 tanggal 2 Oktober 2017. Majelis hakim yang mengadili perkara No. 49P/HUM/2017 itu percaya bahwa NA akan menghasilkan suatu perundang-undangan yang baik. Ada dua hal yang menopang argumentasi ini. Pertama, NA memuat kondisi hukum yang ada atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Kedua, NA memuat keterkaitan peraturan perundang-undangan baru dengan peraturan perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, status peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga NA mampu mencegah tumpang tindih peraturan.

 

Pertimbangan ini muncul ketika MA memutuskan apakah Peraturan Menteri Kehutanan No. P.17/MENLHK/SETJEN/HUM.1/2/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri. Ada empat konsekuensi yang disinggung majelis dalam putusan perkara hak uji materiil itu. Keempat konsekuensi ini sebenarnya ‘jawaban’ atas identifikasi masalah yang telah dirumuskan dalam teknik penyusunan Naskah Akademik dalam UU Ni. 12 Tahun 2011.

Tags:

Berita Terkait