Srikandi Hukum Ini Bicara Pengawasan Aparat
Berita

Srikandi Hukum Ini Bicara Pengawasan Aparat

Memaparkan peran lembaga pengawasan terhadap aparat penegak hukum terutama terkait penanganan pengaduan yang berhubungan dengan perkara perempuan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Seminar Memperingati Hari Kartini bertajuk “Perempuan dan Pengawasan terhadap Lembaga atau Aparat Penegak Hukum: Peran Perempuan dalam Penyelenggaraan Negara” di Gedung KY Jakarta, Senin (30/4). Foto: AID
Seminar Memperingati Hari Kartini bertajuk “Perempuan dan Pengawasan terhadap Lembaga atau Aparat Penegak Hukum: Peran Perempuan dalam Penyelenggaraan Negara” di Gedung KY Jakarta, Senin (30/4). Foto: AID

Memperingati Hari Kartini pada 21 April 2018, Komisi Yudisial (KY) menggelar Seminar bertajuk “Perempuan dan Pengawasan terhadap Lembaga atau Aparat Penegak Hukum: Peran Perempuan dalam Penyelenggaraan Negara”.Acara ini menghadirkan sejumlah narasumber dari KY, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Ombudsman sebagai lembaga pengawasan yang pimpinan/komisionernya kebetulan dijabat oleh perempuan.    

 

Wakil Ketua KY, Sukma Violetta menerangkan KY sebagai lembaga pengawas perilaku para hakim di Indonesia tetap memberi perhatian khusus terhadap hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak perempuan. Misalnya, KY sering menerima pengaduan masayarakat yang berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan. Seperti, penanganan perkara yang merugikan perempuan, perselingkuhan, pernikahan tanpa perlindungan hukum, dan ketidakjelasan status anak.

 

“Di bagian pengawasan hakim KY terdapat 133 pegawai 51 pegawai (44,3 persen) diantaranya adalah perempuan yang bertugas menangani pengaduan yang biasanya berjumlah sekitar 1.500-an laporan masyarakat per tahunnya. Khusus penanganan perkara yang berhubungan dengan perempuan dan anak memiliki tantangan tersendiri,” ujar Sukma Violetta di Gedung KY, Senin (30/4/2018).

 

Sukma mengingatkan fungsi pengawasan KY bukan pengawasan teknis yudisial, tetapi fungsi pengawasan pelanggaran perilaku baik etik maupun dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh hakim di semua tingkat peradilan. “Bila ada laporan pengaduan mengenai putusan hakim menyangkut perkara perempuan, KY tidak berwenang menindaklanjuti,” kata dia.

 

Namun, dalam praktiknya fungsi pengawasan KY dan Mahkamah Agung (MA) sering berbeda pandangan dalam menyikapi sebuah laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Haki  (KEPPH). Sering dalam beberapa kasus, menurut KY hakim tersebut terbukti melanggar KEPPH sebagai perilaku tidak profesional (unprofessional conduct) dalam memutus perkara, tetapi rekomendasi penjatuhan sanksi KY itu tidak ditindaklanjuti oleh MA dengan alasan sudah memasuki wilayah teknis yudisial.  

 

“Makanya, kita perlu persamaan persepsi antara KY dan MA tentang definisi pelanggaran teknis yudisial ini,” kata Sukma.

 

Wakil Ketua Komisi Kejaksaan, Erna Ratnaningsih mengatakan sama halnya dengan KY, hasil penanganan pengaduan Komisi Kejaksaan hanya memberi rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap aparatur kejaksaan yang diduga melanggar kepada Kejaksaan termasuk perkara yang berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Tags:

Berita Terkait