Advokat Indonesia Kena Imbas Perpecahan Badan Arbitrase Nasional
Utama

Advokat Indonesia Kena Imbas Perpecahan Badan Arbitrase Nasional

Arbitrase Singapura menjadi pilihan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Seminar Peradi-USU di Medan membahas perkembangan hukum bisnis. Foto: MYS
Seminar Peradi-USU di Medan membahas perkembangan hukum bisnis. Foto: MYS

Suara yang menginginkan agar para pengurus badan arbitrase di Indonesia bersatu dan mengakhiri konflik sudah berkali-kali diungkapkan. Tak hanya datang saat proses mediasi, tetapi juga datang dari berbagai kalangan. Terakhir, disuarakan juga dalam seminar internasional yang diselenggarakan Perhimpunan Advokat Indonesia pimpinan  Fauzie Yusuf Hasibuan dengan Universitas Sumatera Utara di Medan, April lalu.

Arbitrasi sebenarnya masih menjadi pilihan pengusaha untuk menyelesaikan sengketa mereka. Mereka menaruh harap pada badan arbitrase karena banyak pertimbangan, termasuk prosesnya yang tertutup sehingga bisa menjaga reputasi pengusaha. Dalam rentang waktu 2010-2016, jumlah sengketa yang diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terus mengalami peningkatan; dari sekitar 40 kasus di tahun 2010 menjadi hampir 200 sengketa pada tahun 2016.

Dari jumlah itu, 18 persen pihak yang bersengketa adalah pengusaha (perusahaan) asing. Paling banyak adalah pengusaha dari Singapura, Korea, Jepang, Malaysia, Amerika Serikat, Jerman; disusul Inggris, China dan Hong Kong. Banyaknya sengketa yang diselesaikan melalui BANI sebenarnya peluang bagi advokat Indonesia. Meskipun beberapa advokat asing terlibat, tetapi sebagian besar para pihak masih dibantu advokat atau firma hukum Indonesia.

(Baca juga: Ketua MA: Kami Dukung Arbitrase unuk Mengurangi Tumpukan Perkara).

Itu sebabnya, perpecahan badan arbitrase dan sengketa para pengurus ke pengadilan, bisa merugikan advokat Indonesia. Begitulah pandangan yang disampaikan advokat asal Jepang Shintaro Uno, saat tampil sebagai pembicara di seminar international Peradi-USU di Medan tersebut. Setidaknya, Shintaro menyampaikan perspektif pengusaha Jepang menanggapi sengketa pengurus badan arbitrase.

Coba saja kalkulasi secara sederhana. Pertama, semua kasus yang ditangani BANI setidaknya diwakili minimal satu pengacara Indonesia. Kedua, sebagian besar legal counsel yang terlibat dalam penanganan perkara lewat BANI adalah orang Indonesia. Ketiga, sebagian besar arbiter yang dipilih para pihak adalah orang Indonesia, dan sebagian arbiter itu juga berlatar belakang advokat. Dengan hitung-hitungan sederhana itu, tampak bahwa para pengacara Indonesia dirugikan jika badan arbitrase pecah.

(Baca juga: PTTUN Nyatakan Sengketa BANI Masalah Keperdataan).

Setelah perpecahan BANI, tulis Shintaro, pengusaha Jepang cenderung menghindari penyelesaian arbitrase di Indonesia, dan memilih arbitrase Singapura. Jika pengusaha lebih memilih arbitrase Singapura, maka kesempatan bagi advokat Indonesia untuk memberikan jasa hukum semakin kecil; sebaliknya advokat Singapura diuntungkan. Sengketa yang diselesaikan lewat arbitrase Singapura juga akan final dan mengikat berdasarkan ketentuan setempat, the Arbitration Rules of the Singapore International Arbitration Center (SIAC Rules).

Jumlah perkara yang ditangani SIAC SIngapura jauh lebih banyak dibanding sengketa yang ditangani BANI. Berdasarkan data yang diungkapkan Shintaro Uno, pada tahun 2010 ada sekitar 200 perkara yang ditangani SIAC. Pada tahun 2016, jumlahnya sudah hampir 350 perkara. Data resmi dari SIAC bisa dilihat pada tabel berikut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait