Prevailing atau Nailed Down? Menimbang Formula Pajak yang Paling Tepat untuk Pertambangan
Berita

Prevailing atau Nailed Down? Menimbang Formula Pajak yang Paling Tepat untuk Pertambangan

Skema pungutan pajak tidak tetap membutuhkan kestabilan politik dan kepastian hukum.

Oleh:
Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan minerba. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan minerba. Foto: RES

Penerimaan pajak dari sektor pertambangan mengalami tren peningkatan di tahun 2018. Pajak dari sektor pertambangan tumbuh sebesar 39,9 persen, paling tinggi dibanding  sektor lain. Di tengah kabar baik itu muncul perdebatan mengenai formula pajak yang lebih pas untuk diterapkan di sektor pertambangan, khususnya ketika muncul kasus Freeport. Opsinya bisa pajak tidak tetap (prevailing), atau pajak yang bersifat tetap hingga masa izin usaha habis (nailed down).

 

Dalam rezim Izin Usaha Pertambangan (IUP), skema pemungutan pajak di Indonesia saat ini menggunakan skema prevailing. Skema ini menerapkan pemungutan pajak yang lebih dinamis karena berdasarkan peraturan yang berlaku dari waktu ke waktu. Saat ini, tarif PPh Badan dalam skema prevailing adalah 25 persen sesuai UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

 

Pemerhati Perpajakan Yustinus Prastowo berpendapat penerapan skema prevailing dalam pemungutan pajak sektor pertambangan dinilai sudah ketinggalan zaman. Skema ini memang sempat menjadi pilihan utama perpajakan di tahun 1990-an. Tetapi jika melihat kemungkinan kebijakan perpajakan ke masa depan, skema prevailing justru akan merugikan negara. “Sekarang ini sudah ada kemungkinan kalau di masa depan itu pajak bakal zero percent. Kalau skema prevailing, ya artinya negara rugi,” kata Yustinus dalam sebuah diksusi di Jakarta, Rabu (09/5).

 

(Baca juga: IUP yang Tak Penuhi Syarat Permen ESDM 48/2017 Bakal Dibekukan)

 

Dalam konteks ini, Yustinus menilai skema pemungutan pajak yang harusnya diterapkan oleh pemerintah adalah nailed down, terutama bagi pelaku usaha pemegang Kontrak Karya/Perjanjian Karya/PKP2B. Skema ini, lanjutnya, bersifat statis. Pemungutan pajak dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku pada saat ditandatanganinya kontrak atau saat perizinan diberikan.

 

Bagaimana jika saat kontrak sudah berjalan, lalu pemerintah menerbitkan aturan yang justru menaikkan tarif PPh Badan? Apakah negara akan merugi jika menerapkan skema nailed down? Menurut Yustinus, skema nailed down memberikan win win solution bagi kedua belah pihak yang berkontrak. Asalkan, kontrak harus memberikan ruang untuk negosiasi ulang jika hal tersebut diperlukan. Klausul negosiasi tersebut, lanjutnya, diutamakan untuk pemerintah jika terdapat perubahan yang signifikan dalam penerimaan negara.

 

“Kalau dulu tahun 1990-an, skema yang digunakan prevailing. Waktu itu besaran pajak PPh Badan sebesar 35 persen. Sekarang menjadi 25 persen karena muncul varian-varian pajak. Nah jika menggunakan konsep nailed down, misalkan suatu saat pajak PPh Badan menjadi nol persen, mereka (pelaku usaha) tetap bayar 25 persen sesuai isi kontrak. Tetapi kalau prevailing, ya mereka jadinya bayar nol persen,” lanjutnya.

 

Namun persoalannya, saat ini Indonesia sudah memasuki rezim Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam rezim ini, prinsip ketentuan hukum yang diterapkan adalah prevailing law. Dalam konsep prevailing, pemerintah telah berencana menurunkan tarif PPh Badan menjadi 17 persen, tetapi disertai dengan jenis pungutan yang cukup beragam, misalnya royalti.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait