Problematika Praperadilan di Indonesia
Kolom

Problematika Praperadilan di Indonesia

Dibutuhkan sebuah upaya agar kekeliruan yang dilahirkan oleh putusan praperadilan tidak menyebabkan kekacauan hukum yang lebih parah.

Bacaan 2 Menit
Siska Trisia. Foto: dokumen pribadi
Siska Trisia. Foto: dokumen pribadi

Beberapa waktu lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan putusan praperadilan nomor 24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt.Sel (Putusan Praperadilan Century). Singkatnya, putusan praperadilan tersebut melahirkan suatu norma yang mana hakim praperadilan dapat memerintahkan termohon (Penyidik) untuk melakukan penetapan tersangka terhadap seseorang yang bukan pihak berperkara dalam kasus aquo.

 

Dalam perkara praperadilan tersebut, pemohon praperadilan mendalilkan bahwa telah ada upaya penghentian penyidikan kasus korupsi Bank Century oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran tidak adanya perkembangan penyidikan terhadap pelaku lain seperti Boediono. Padahal di dalam berkas perkara terpidana Budi Mulya pada tahun 2015, nama keduanya sudah tercantum jelas. Atas dalil tersebut, hakim memberikan putusan yang salah satu amarnya menyatakan bahwa KPK harus segera melakukan penyidikan dan menetapkan Boediono sebagai tersangka dalam perkara korupsi Bank Century.

 

Dari putusan tersebut, terdapat beberapa hal menyorot perhatian publik dan perlu untuk dikaji lebih dalam. Pertama, sejauh apakah kewenangan hakim praperadilan dalam memutus suatu perkara. Kedua, akibat hukum apa yang kemudian timbul jika kewenangan yang sudah diberikan tersebut dilampaui oleh hakim dan ketiga mekanisme apa yang dapat ditempuh oleh aparat penegak hukum terkait jika ternyata putusan Praperadilan Century di atas telah keliru dalam memutus perkaranya.

 

Praperadilan dalam sejarahnya merupakan sarana yang digunakan untuk melindungi hak asasi manusia (HAM). Terutama HAM dari tersangka suatu tindak pidana pada tahap penyidikan dan penuntutan. Pada zaman pra kemerdekaan aturan dalam strafvordering (RV) disebutkan bahwa fungsi praperadilan yang kita kenal saat ini dahulunya dijalankan oleh hakim komisaris. Di dalam Undang Undang 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) praperadilam yang sekarang kita kenal menjadi kewenangan dari pengadilan negeri. Fungsinya adalah sebagai Lembaga Kontrol bagi aparat penegak humum yang ada di bawahnya.

 

Awal mulanya kewenangan lembaga praperadilan adalah melakukan pengujian terhadap proses penyidikan dan penuntutan perkara pidana dan menetapkan rehabilitasi dan ganti kerugian atas upaya paksa yang tidak sah. Namun kewenangan tersebut kemudian bertambah dengan lahirnya putusan praperadilan 04/Pid/Prap/2015/PN.JKT.SEL dalam perkara Budi Gunawan dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 21/PUU-IV/2014. Putusan tersebut pada intinya menyebutkan bahwa kewenangan lembaga praperadilan termasuk juga dalam hal menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka seseorang.

 

Dengan kewenangan tersebut, maka hakim di pengadilan negeri dalam perkara praperadilan akan lebih banyak menitikberatkan proses pemeriksaan pada alat bukti surat, yang kemudian dijadikan acuan untuk menilai apakah tindakan aparat penegak hukum dalam tahap penyidikan dan penuntutan sah atau tidak menurut formil hukumnya. Pemeriksaan dalam perkara ini dikenal juga dengan pemeriksaan acara singkat.

 

Selanjutnya, dalam pasal 82 KUHAP diatur pula bahwa hakim dalam memeriksa perkara praperadilan memang diberikan kewenangan untuk mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang. Mengingat proses pemeriksaan perkara praperadilan adalah dengan acara singkat, maka untuk membuktikan dalil bahwa perlu atau tidaknya seseorang ditetapkan sebagai tersangka, maka hakim tentunya hanya dapat menguji dua alat bukti formil yang menjadi dasar ditetapkannya seseorang menjadi tersangka. Hal ini sejalan dengan apa yang dimuat dalam pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2016 (PERMA 4/2016)  tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.

Tags:

Berita Terkait