20 Tahun Reformasi, Lembaga Pengawas Eksternal Bidang Hukum Belum Efektif
Berita

20 Tahun Reformasi, Lembaga Pengawas Eksternal Bidang Hukum Belum Efektif

Ada tren pengurangan kewenangan dan pengerdilan peran lembaga pengawas eksternal.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dan moderator diskusi yang diselenggarakan  ILR, di Jakarta, Kamis (24/5). Foto: DAN
Para pembicara dan moderator diskusi yang diselenggarakan ILR, di Jakarta, Kamis (24/5). Foto: DAN

Reformasi dengan sejumlah agenda pembaharuannya memberi angin segar terhadap lahirnya lembaga-lembaga pengawasan eksternal. Prinsip check and balance diterapkan terhadap setiap sendi dan tata kelola pemerintahan demi menciptakan pemerintah yang bersih. Hal yang sama terjadi kepada lembaga penegak hukum. Kemunculan lembaga pengawasan yang berdiri secara terpisah menunjukkan adanya keinginan serius untuk melaksanakan reformasi di bidang hukum.

Indonesian Legal Roundtable (ILR) merilis hasil penelitian terkait efektivitas sejumlah lembaga pengawasan eksternal lembaga penegak hukum –Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian. Lembaga pengawasan eksternal tersebut terdiri atas Komisi Yudisial (KY), Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI), dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Variabel yang digunakan untuk mengukur efektivitas kinerja lembaga pengawasan tersebut adalah respons laporan publik yang diterima lembaga pengawas eksternal terhadap lembaga penegak hukumnya; dan jumlah anggaran publik yang diterima oleh masing-masing institusi penegak hukum setiap tahun.

ILR mengungkap, di luar upaya serius KY melakukan pengawasan terhadap Hakim, masih ada kendala. “Tidak sedikit rekomendasi KY atas penjatuhan sanksi bagi hakim ditolak Mahkamah Agung,” ujar Peneliti ILR, Erwin Natosmal, dalam diskusi 20 Tahun Reformasi Hukum, di Kantor ILR, Jakarta, Kamis (24/5).

(Baca juga: Srikandi Hukum Ini Bicara Pengawasan Aparat).

Menurut Erwin, perubahan terhadap undang-undang yang dilengkapi dengan sejumlah keputusan bersama antara Mahkamah Agung dengan KY mengenai Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang selama ini menjadi dasar penjatuhan hakim bermasalah ternyata belum menjamin pengawasan terhadap hakim dapat berjalan secara efektif. ILR mencatat, setidaknya dari 123 rekomendasi KY ke MA sepanjang periode 2005 hingga 31 Juli 2011, terdapat 108 rekomendasi KY yang ditolak MA. Dari jumlah tersebut, ada 41 rekomendasi yang dianggap sudah memasuki ranah wilayah teknis yudisial yang dijadikan MA sebagai alasan penolakan. Pada tahun 2017, KY merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada 58 orang hakim yang dinyatakan terbukti melanggar KEPPH. Namun menurut ILR, banyak rekomendasi sanksi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung.

Wakil Ketua Komisi Yudisial, Sukma Violeta dalam kesempatan yang sama mengamini penjelasan Erwin. Menurut Sukma, tren yang perlu diamati dan sedang terjadi adalah adanya pelemahan terhadap prinsip check and balance. Senada dengan ILR, Sukma mengakui sejumlah “hasil pengawasan KY tidak dieksekusi (oleh MA)”.

Sukma juga mengungkap narasi lain yang terbangun sebagai bagian dari tidak dieksekusinya rekomendasi KY adalah wacana ketidaksejajaran antara kedudukan KY dengan lembaga yudikatif lainnya. Selain itu, ada tren pengurangan kewenangan KY seperti yang ditemukan dalam tafsiran putusan MK tentang “kewenangan lain dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran  martabat dan perilaku hakim”.

(Baca juga: MK Tak Boleh ‘Alergi’ dengan Pengawasan Eksternal).

Selain masalah usulan rekomendasi, persoalan lain yang diungkap oleh ILR adalah putusan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang sudah dijatuhkan terhadap hakim yang terbukti melakukan pelanggaran KEPPH pun tidak bisa segera dieksekusi .Sejumlah nama hakim dalam catatan ILR yang telah di pecat MKH tapi masih ditemukan bertugas adalah misalnya hakim Dwi Djanuwanto, Vica Natalia, dan Dainuri.

Tags:

Berita Terkait