Alasan Hakim Tolak Eksepsi Syafruddin
Berita

Alasan Hakim Tolak Eksepsi Syafruddin

Atas putusan sela itu, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi pada Rabu, 6 Juni 2018.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) menolak keberatan yang diajukan oleh penasihat hukum mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara senilai Rp4,58 triliun.

 

"Mengadili, menyatakan eksepsi terdakwa dan penasihat hukum terdakwa tidak dapat dipenuhi. Menyatakan surat dakwaan penuntut umum tanggal 2 Mei 2018 telah memenuhi syarat formil dan materiil sesuai pasal 143 KUHAP dan sah menurut hukum, menyatakan Pengadilan Tipikor sah melakukan pemeriksaan, memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan," kata ketua majelis hakim Yanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (31/5/2018) seperti dikutip Antara.  

 

Dalam perkara ini, Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham, sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.

 

Dalam putusannya, majelis hakim yang terdiri atas Yanto, Diah Siti Basariah, Sunarso, Anwar dan Sukartono menolak semua keberatan penasihat hukum. Baca Juga: KPK: Surat Dakwaan Mantan Kepaala BPPN

 

Pertama, terkait keberatan penasihat hukum Syafruddin bahwa Pengadilan Tipikor tidak berwenang mengadili kasus tersebut karena merupakan objek Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan sedang diajukan gugatan ke pengadilan perdata.

 

"Majelis hakim tidak sependapat karena secara jelas disebutkan pasal 2 Perma 2014 bahwa pengadilan TUN berwenang mengadili sengketa TUN sebelum ada proses pidana. Dan harus ada proses penilaian sementara pemeriksaan pidana tidak perlu menunggu selesainya perkara perdata dan juga sebaliknya. Penyidikan, penuntutan terhadap perkara tipikor harus didahulukan dari perkara lainnya guna penyelesaian secepatnya, sehingga keberatan tim penasihat hukum terdakwa tidak punya alasan hukum dan dinyatakan tidak dapat diterima," tutur anggota majelis hakim Anwar.

 

Selanjutnya mengenai keberatan penasihat hukum yang menyebutkan perkara itu sudah kedaluwarsa karena BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian "Master Settlement Aqcuisition Agreement" (MSAA) yang telah dinyatakan "final closing" pada 25 Mei 1999 sehingga tindak pidana seharusnya dihitung daluarsa sejak final closing MSAA dan artinya perkara hapus alias daluarsa pada 25 Mei 2017.

Tags:

Berita Terkait