Mantan Menteri Ini Berhasil Pertahankan Disertasi tentang Kolaborasi Pemberantasan Korupsi
Berita

Mantan Menteri Ini Berhasil Pertahankan Disertasi tentang Kolaborasi Pemberantasan Korupsi

Banyak faktor yang mempengaruhi proses kolaborasi pemberantasan korupsi. KPL dan aparat penegak hukum lain harus duduk bersama membahas grand strategi pemberantasan korupsi.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Azwar Abubakar saat mempertahankan disertasi dalam bidang ilmu administrasi negara. Foto: ISTIMEWA
Azwar Abubakar saat mempertahankan disertasi dalam bidang ilmu administrasi negara. Foto: ISTIMEWA

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi periode 2011-2014, Azwar Abubakar, berhasil mempertahankan disertasi dalam sidang terbuka di depan tim penguji dan promotor Universitas Indonesia, Rabu (06/6). Dihadiri ratusan undangan, termasuk mantan Wakil Presiden Boediono, Azwar memperoleh predikat sangat memuaskan setelah berhasil mempertahankan disertasi berjudul ‘Membangun Collaborative Governance dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia’.

Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto termasuk anggota tim penguji. Anggota tim penguji lainnya adalah Prof. Irfan Ridwan Maksum, Prof. Azhar Kasim, Roy Valiant Salomo, Sodjuangon Situmorang, dan Teguh Kurniawan. Azwar Abubakar menulis disertasi tentang model kolaboratif pemberantasan korupsi itu di bawah promotor Prof. Eko Prasojo dan ko-promotor Lina Miftahul Jannah. Azwar menjadi orang ke-165 yang berhasil mempertahankan disertasi bidang ilmu administrasi negara di Universitas Indonesia.

Disertasi pria kelahiran Banda Aceh 21 Juni 1952 itu relevan dengan kondisi kekinian di Indonesia. Isu pemberantasan korupsi sedang hangat dibicarakan termasuk saat beberapa klausula pemberantasan korupsi dimasukkan ke dalam Rancangan KUHP. Rencana Pemerintah dan DPR mengatur beberapa pasal tentang korupsi dalam KUHP menuai kritik karena dianggap sebagai bagian dari pelemahan upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, pemberantasan korupsi di Indonesia tak hanya ditangani oleh KPK, tetapi juga kepolisian dan kejaksaan.

(Baca juga: KPK: Delik Korupsi dalam RKUHP Potensi Hambat Pemberantasan Korupsi).

Dalam skala yang lebih luas, lembaga atau satuan-satuan kerja pengawasan sebenarnya juga merupakan bagian dari pemberantasan korupsi. Inspektorat di masing-masing Kementerian Lembaga, BPKP, BPK, dan Ombudsman, berperan dengan kewenangan masing-masing untuk mencegah terjadinya korupsi. Dalam konteks inilah proses kolaborasi antar pemangku kepentingan, atau collaborative governance dibutuhkan.

Pemberintahan kolaboratif berkembang sebagai respons atas kegagalan pelaksanaan lanutan dan atas biaya tinggi dan politisasi regulasi. Penggunaan model kolaboratif meningkat sejalan dengan pertumbuhan pengetahuan dan  kapasitas kelembagaan. Dalam collaborative governance, lembaga-lembaga pemerintahan secara langsung mengikutsertakan para pemangku kepentingan di luar pemerintah dalam proses pembuatan keputusan  secara bersama, berorientasi pada kesepakatan, dan konsultatif. Melalui collaborative governance pemangku kepentingan dapat menghilangkan biaya tinggi dalam pembuatan kebijakan, memperluas partisipasi yang demokratis, dalam mengembalikan rasionalitas ke dalam manajemen publik.

Dalam disertasinya Azwar berpendapat kepemimpinan yang fasilitatif dan teladan menjadi inisiator penting dalam proses kolaborasi. Di Indonesia, kepeimpinan itu ada di tangan seorang presiden. Proses kolaborasi pemberantasan korupsi di Indonesia dipengaruhi banyak faktor yakni integritas sumber daya kunci para pemangku kepentingan atau SDM key stakeholders, budaya masyarakat yang permisif terhadap korupsi; kondisi poliik, dan budaya organisasi institusi pemberantasan korupsi.

(Baca juga: Korupsi Identik dengan Penyalahgunaan Kekuasaan dan Kewenangan).

Azwar menganalisis lima kegiatan yang berkontribusi besar dalam isu pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan (evaluasi) berdasarkan manajemen berbasis kinerja. Hasilnya, hasil evaluasi kinerja belum digunakan sebagai faktor penting dalam pengalokasian anggaran di Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemda. Kedua, pengadaan barang dan jasa, ternyata masih dipengaruhi oleh kolusi meskipun sudah menggunakan tender elektronis. Akibatnya muncul persaingan tidak sehat dan pemborosan anggaran.

Tags:

Berita Terkait