Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid V)
Kolom Hukum J. Satrio

Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid V)

Merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang sedang mempertanyakan apakah kata-kata “di bawah penguasaan masing-masing” sama dengan tetap menjadi “milik” masing-masing suami dan isteri ataukah hanya “dikuasai” oleh masing-masing suami-isteri yang membawanya ke dalam perkawinan.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio
J. Satrio

Untuk kejelasannya kita perlu lihat peraturan pelaksanaannya, yang nantinya mestinya ada. Kata-kata “sepanjang para pihak tidak menentukan lain” dalam Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan mestinya mau mengatakan, bahwa atas asas yang dianut dalam Pasal 35 ayat (1), undang-undang membolehkan para pihak untuk menyimpanginya. Penyimpangan atasnya mestinya dengan sepakat para pihak. Ketentuan itu belum menetapkan kapan para pihak boleh menyepakati penyimpangan itu dan bagaimana caranya?

 

Dari ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan bisa kita simpulkan, bahwa terpisahnya harta bawaan dari harta bersama terjadi demi hukum. Lalu, bagaimana suami atau isteri nantinya bisa membuktikan, apa yang telah dibawa olehnya ke dalam perkawinan? Bahkan pihak ketiga kreditur punya kepentingan sekali untuk tahu harta mana merupakan harta bersama, yang mestinya menjadi jaminan tagihannya?

 

Dikatakan “mestinya” karena kita belum tahu prinsip tanggung jawab yang dianut dalam hukum harta perkawinan menurut UU Perkawinan.

 

Untuk benda-benda atas nama memang kita dengan mudah bisa mengetahui, apakah benda itu diperoleh sebelum atau sesudah perkawinan dan siapa yang membawanya ke dalam perkawinan, tetapi bagaimana dengan benda-benda bergerak tidak atas nama? Apakah untuk mengatasi hal itu -sebagaimana dalam KUH Perdata- perlu dan harus dilakukan pencatatan sebelum perkawinan dilangsungkan? Apakah pencatatan itu harus dilakukan di depan seorang pejabat? Kita tunggu saja peraturan pelaksanaan Pasal 35 UU Perkawinan. 

 

Selanjutnya Pasal 36 UU Perkawinan mengatakan:

  1. Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak;
  2. Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.

 

Perhatikan kata-kata “mengenai harta bersama” dan “dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Kalau yang disebutkan di depan benar, maka kita tahu, bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh suami dan isteri sepanjang perkawinan, yang bukan berupa harta hibahan (yang bukan diperoleh atas dasar hibah) maupun yang bukan diperoleh atas dasar warisan, oleh masing-masing suami atau isteri. Kata-kata dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan di atas bersifat umum -harta bersama- tidak dibedakan apakah wujud harta bersama itu berupa harta bergerak atau harta tetap.

 

Kata-kata “atas persetujuan kedua belah pihak” biasa ditafsirkan, untuk mengambil tindakan hukum atas harta bersama, suami perlu mendapat persetujuan dari isteri dan sebaliknya isteri perlu persetujuan suami.

Tags:

Berita Terkait