Peradilan Contempt of Court Dinilai Tak Cocok Diterapkan di Indonesia
Berita

Peradilan Contempt of Court Dinilai Tak Cocok Diterapkan di Indonesia

Karena sistem peradilan di Indonesia menganut sistem non adversary model-inqusitorial yang memiliki kekuasaan besar yang tidak lagi perlu dilindungi dengan konsep Contempt of Court.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah dan DPR telah bersepakat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bakal disahkan menjadi UU pada Agustus 2018 mendatang. DPR dan pemerintah berharap KUHP terbaru ini bakal menjadi “kado” hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, jelang akhir pengesahan RKUHP, belum selesai dengan pasal-pasal yang bermasalah sebelumnya, belakangan muncul pasal-pasal atau hal lain yang potensi menimbulkan masalah.

 

Salah satu isu yang mendapat sorotan pegiat reformasi hukum pidana yakni soal ketentuan tindak pidana terhadap proses peradilan. Publik lebih banyak mengenalnya dengan istilah Contempt of Court (CoC), penghinaan terhadap peradilan. Pengaturan tindak pidana terhadap peradilan ini diatur dalam BAB VI melalui Pasal 302 – 325 RKUHP.

 

Direktur Eksekutif  Institute Criminal for Justice Reform (ICJR)  Anggara Suwahju menilai tindak pidana terhadap proses peradilan dalam konsep peradilan pidana tidaklah tepat diterapkan di Indonesia. Dia beralasan Indonesia menganut sistem non adversary model- inqusitorial. Yakni, hakim memegang kekuasaan yang sedemikian besar. Selain itu, hakim sebagai pengendali utama dalam proses peradilan. Kedudukan jaksa dan terdakwa pun berbeda. Peran keduanya terkait pembuktian sudah dimulai sejak tahap penyidikan.

 

Sedangkan, konsep Contempt of Court hanya dikenal dan diterapkan di negara-negara yang cenderung menganut sistem adversary. Yakni, hakim hanya berperan sebagai fasilitator sidang, sedangkan juri sebagai penentu. Namun, kedudukan jaksa justru sejajar dengan terdakwa. Dengan demikian, sejatinya pembuktikan utama justru dilakukan dalam persidangan.

 

“Kedua sistem tersebut amatlah bertolak belakang. Konsep Contempt of Court dalam konsep peradilan pidana di Indonesia tidak tepat digunakan,” ujarnya belum lama ini di Jakarta. Baca Juga: Duplikasi Pengaturan Delik Tipikor dalam RKUHP Potensi Transaksional  

 

Menurutnya, di negara-negara yang menerapkan Contempt of Court diharapkan dapat menutup celah kekuasaan kehakiman yang tidak besar dalam konsep sistem adversary. Berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem non adversary model-inqusitorial yang sebenarnya Contempt of Court tidak diperlukan lagi dalam peradilan pidana. Sebab, hakim memiliki kekuasaan besar yang tidak lagi perlu dilindungi dengan konsep Contempt of Court.

 

Anggara, yang lembaganya anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP ini, menilai bila rumusan norma tersebut tetap dipaksakan masuk dalam RKUHP, maka bukan tidak mungkin prinsip sistem peradilan di Indonesia menganut prinsip The sub judice rule. Yakni, aturan umum yang tidak memperbolehkan melakukan publikasi untuk mencampuri peradilan yang bebas dan tidak memihak terhadap kasus yang sedang dan/atau akan diperiksa di pengadilan.

Tags:

Berita Terkait