Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid VII)
Kolom Hukum J. Satrio

Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid VII)

Merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang mempertanyakan mengapa perlu diperhatikan, apakah para penggugat dan tergugat adalah orang-orang yang tunduk pada BW?

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio
J. Satrio

Kalau penggugat dan tergugat adalah orang-orang yang tunduk pada Hukum Adat, maka kita akan sulit untuk membedakan, apakah di sana diterapkan hukum harta perkawinan menurut UU Perkawinan ataukah di sana diterapkan hukum harta perkawinan menurut Hukum Adat. Sebab, hukum harta perkawinan menurut UU Perkawinan -sebagaimana telah dikatakan di depan- mendasarkan kepada asas Hukum Adat.

 

Apalagi, dalam beberapa keputusan sesudah tahun 1975, di sana masih digunakan istilah harta gono-gini, harta guna karya (harta pencaraian bersama), harta asal, harta gawan, barang asal, yang mengindikasikan, bahwa pengadilan mendasarkan keputusannya pada hukum adat.[1]

 

Kalau kita perhatikan ketentuan dalam UU Perkawinan, maka kita menemukan bahwa ketentuan yang mengatur tentang harta perkawinan, ada dalam Bab V dengan judul “Perjanjian Perkawinan” dan Bab VII di bawah judul “Harta Benda Dalam Perkawinan”. Ternyata kita hanya menemukan tiga pasal saja, yang dimasukkan dalam Bab VII di bawah judul Harta Benda Dalam Perkawinan, yaitu Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 dan satu pasal lagi dalam Bab V, yaitu Pasal 29 yang mengatur tentang perjanjian perkawinan.

 

Kalau kita bandingkan dengan Burgerlijk Wetboek (BW), kita melihat perbedaan yang sangat jauh dalam jumlah pasal yang mengatur akibat perkawinan terhadap harta suami dan istri, yaitu dimulai dari Pasal 119 sampai dengan Pasal 167. Itupun masih menimbulkan banyak silang pendapat dalam penafsiran, yang dituangkan dalam sekian banyak buku dan keputusan pengadilan.

 

Yang demikian itu adalah sesuai dengan kesimpulan kita di depan, bahwa UU Perkawinan baru mengatur pokok-pokok Hukum Keluarga, dan karenanya masih memerlukan peraturan pelaksanaan lebih lanjut. Khususnya -kalau kita melihat fakta yang disebutkan di atas- untuk pelaksanaan hukum harta perkawinan masih perlu sekali peraturan pelaksanaan, agar kita tahu maksud dari pembentuk undang-undang dan tidak atas dasar kira-kira saja.

 

Mestinya perlu dipertanyakan, apakah bisa diterima, kalau hukum harta perkawinan menurut UU Perkawinan diterapkan saja untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa menunggu peraturan pelaksanaannya? Apakah anda setuju, peraturan pelaksanaannya dibuat saja menurut kebutuhan yang muncul atas masing-masing peristiwa yang dihadapi dalam praktik?

 

Hukum, termasuk hukum harta perkawinan tidak bisa dijalankan dengan prinsip improvisasi menurut keadaan dan kebutuhan yang ada. Kalau improvisasi lagu, dinyanyikan sedikit menyimpang dari not-nya, tidak apa-apa. Tetapi kalau improvisasi dilaksanakan dalam penerapan hukum, maka kepastian hukum akan hilang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait