Pesangon Berkurang, Pensiunan Bank Uji UU Ketenagakerjaan
Berita

Pesangon Berkurang, Pensiunan Bank Uji UU Ketenagakerjaan

Pemohon meminta MK memberi penafsiran Pasal 167 ayat (3) agar tidak diimplementasikan berbeda oleh pengusaha kepada pekerja terhadap uang pesangon.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sejumlah pensiunan bank nasional mengajukan uji materi Pasal 167 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Mereka adalah Indrayana, Augustinus Kabul Sutrisno, Achmad Syafi’i, Yulias Andrie Yatmo, dan Santen Purba terutama frasa “diperhitungkan” yang dinilai bersifat diskriminatif, problematik, dan merampas hak pekerja.

 

Pasal 167 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)

Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan

Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/preminya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh maka diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.”

 

Dalam sidang perbaikan, kuasa hukum para pemohon, Nurkholis Hidayat menuturkan Pasal 167 ayat (3) UU Ketenagakerjaan ini telah merugikan hak konstitusional kliennya dalam hal pembayaran uang pesangon, lantaran PHK karena pensiun. Sebab, sesuai aturan di bank nasional tertentu, bagi karyawan yang pensiun mendapat uang pensiun dan uang pesangon.

 

Namun, praktiknya, dia menilai Pasal 167 ayat (3) telah menyebabkan multiinterpretasi.  Salah satunya diartikan oleh kalangan pengusaha perbankan ketika memahami pengertian uang pensiun dikurangi uang pesangon. Akibatnya, pekerja termasuk pemohon mengalami tidak dibayarnya uang pesangonnya atau uang pesangon mengalami kekurangan yang sangat signifikan, sehingga Pemohon tidak mendapat hak sebagaimana mestinya.

 

“Bahkan, mengakibatkan para pemohon atau pensiunan berutang pada perusahaan,” kata Nurkholis dalam sidang perbaikan permohonan yang diketuai Arief Hidayat di Gedung MK, Selasa (26/6/2018). Arief Hidayat didampingi Suhartoyo dan I Dewa Gede Palguna sebagai anggota majelis panel. Baca Juga: Formula Tepat Melakukan PHK Secara Hukum

 

Nurkholis menerangkan setelah memasuki usia pensiun,  pengusaha dan pekerja berkontribusi dalam pembayaran iuran program pensiun dalam prosentase tertentu. Namun, BNI, salah mengartikan frasa “diperhitungkan” menjadi dikurangi. Sehingga rumusan perhitungan pesangon pensiun normal hanya sebatas perhitungan uang pesangon dikurangi besarnya porsi BNI dalam program dana pensiun.

 

Sebab, kebijakan BNI, ketika menerapkan norma ini hanya mengakui program dana pensiunnya hanya dibayarkan oleh pengusaha. “BNI tidak memperhitungkan dan tidak mengembalikan iuran program pensiun yang telah dibayarkan oleh pekerja. Padahal, iuran dari pihak pekerja murni hak dari pekerja yang harusnya dikembalikan utuh oleh pengusaha dalam program manfaat pensiun,” lanjutnya.

Tags:

Berita Terkait