Batas Usia Pensiun untuk PHK dan Substitusi Hak “Pesangon” dengan Manfaat Pensiun Saat PHK Oleh: Umar Kasim (Jilid I)
Kolom

Batas Usia Pensiun untuk PHK dan Substitusi Hak “Pesangon” dengan Manfaat Pensiun Saat PHK Oleh: Umar Kasim (Jilid I)

​​​​​​​Pertanyaannya, bagaimana jika (dalam perjanjian kerja dan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama) di suatu perusahaan, tidak ada/belum ada ketetapan mengenai batasan usia pensiun dimaksud, dan peraturan-perundang-undangan juga tidak mengaturnya?

Bacaan 2 Menit
Umar Kasim
Umar Kasim

Pendahuluan

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha (mewakili perusahaan) dengan pekerja atau buruh* (yang mewakili dirinya sendiri). Sebaliknya, jika perjanjian kerja berakhir atau diakhiri, maka –dengan sendirinya-hubungan kerja berakhir pula[1]. Oleh karenanya dengan berakhirnya hubungan kerja, berakhir pulalah -segala- hak-hak dan kewajiban (prestasi dan kontra prestasi) diantara para pihak -pengusaha dengan pekerja/buruh- saling bertimbal balik, dan sejak saat itulah terjadi -keadaan- pemutusan hubungan kerja (“PHK”).

 

*Istilah “pekerja/buruh“, adalah terminologi resmi yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No.13/2003”) untuk menyebut tenaga kerja yang bekerja dalam hubungan kerja (berdasarkan perjanjian kerja) yang menerima contra prestasi pembayaran upah sebagai “orang gajian”. Istilah lain yang lebih lazim –dan sehari-hari- dipergunakan masyarakat, adalah “karyawan”/“karyawati” dengan makna yang sama (yakni tenaga kerja dalam hubungan kerja). Disamping itu, bagi perusahaan negara (state owned corporation) atau perusahaan daerah (local government owned company) lebih sering menggunakan dan menyebut dengan istilah “pegawai”, karena pada umumnya suatu badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah (BUMN/BUMD) berasal dari privativatiasi atau corporatisasi unit-unit kerja atau satuan kerja (urusan negara/ pemerintahan) -yang bertransformasi- menjadi entitas usaha atau entitas bisnis (business entity) yang -pada waktu di pemerintahan- tenaga kerjanya -memang- disebut dengan istilah pegawai [rezim UU Kepegawaian Nomor 8 Tahun 1974 jo UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian].

 

Salah satu sebab/alasan alasan PHK, adalah berakhirnya atau diakhirinya hubungan kerja yang disebabkan -karena alasan- pekerja atau buruh telah memasuki usia pensiun -atau mencapai batas usia pensiun- yang ditentukan untuk PHK*, baik yang ditentukan dan diatur dalam perjanjan kerja (PK) dan peraturan perusahaan (PP) atau diperjanjikan (secara kolektif) dalam perjanjian kerja bersama (PKB), ataupun (pada beberapa jabatan-jabatan tertentu) -telah- diatur dan ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

 

*Yang dimaksud pekerja/buruh telah memasuki usia pensiun atau mencapai batas usia pensiun yang ditentukan dalam konteks tulisan ini, adalah saat telah sampainya batasan usia tertentu untuk mengakhiri hubungan kerja, termasuk sampainya waktu -atau saat yang ditentukan (dalam PK, PP/PKB)- untuk mengambil hak pensiun dini dan/atau meminta -hak- untuk mengakhiri hubungan kerja dimaksud -jika telah memenuhi syarat-, misalnya karena cacat total tetap karena kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja. Namun dalam konteks tulisan ini, bukan PHK yang di luar batas usia pensiun yang ditentukan. Untuk hal di luar batas usia pensiun tersebut harus diatur tersendiri dalam PP/PKB sesuai amanat Pasal 167 ayat (4) UU No.13/2003.

 

Artinya, jika sampai saatnya batasan usia pensiun –untuk PHK- yang telah ditentukan tiba, termasuk saat tibanya (timbulnya) hak untuk mengambil pensiun dini (yang telah ditentukan/diperjanjikan), maka demi hukum hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang bersangkutan berakhir dengan sendirinya (van rechtswege, null and void).

 

Demikian juga, sejak saat itu -kemungkinan- timbul hak “pesangon” pasca berakhirnya hubungan kerja dimaksud, hak mana dapat berupa uang pesangon (UP) dan uang penghargaan masa kerja (UPMK) serta uang penggantian hak (UPH)*, dan/atau hak manfaat pensiun (baik yang diberikan/diambil secara sekaligus, atau secara berkala, ataukah secara sekaligus dan berkala).

 

*Dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, tidak ada definisi mengenai -istilah- “pesangon” secara tersendiri, akan tetapi dalam pengertian sehari-hari, yang dimaksud (oleh masyarakat/awam) sebagai pesangon, adalah uang saku atau “sangu” yang berhak atau dapat diperoleh pekerja/buruh pasca berakhirnya hubungan kerja, yang meliputi tabel perhitungan nilai (hak) uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana tersebut dalam Pasal 156 ayat (2), (3) dan (4) UU No.13/2003, sehingga lazim (sehari-hari) disebut sebagai “pesangon” saja [sebagaimana dijelaskan dalam surat Kepala Biro Hukum Kemnaker No. B.31/Hk/I/2018, tanggal 11 Januari 2018 pada butir 2 huruf a].

Tags:

Berita Terkait