Catatan Penting dalam Pemberantasan Narkoba
Berita

Catatan Penting dalam Pemberantasan Narkoba

DPR mendorong Polri dan BNN agar mengedepankan rehabilitasi terhadap pengguna dan pecandu narkotika. Proses pemberian rehabilitasi pun mesti dilakukan secara transparan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pengguna narkotika. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pengguna narkotika. Ilustrator: BAS

Sejak berlakunya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika hingga saat ini, pemberantasan atau melawan kejahatan narkotika/narkoba mesti menjadi evaluasi bagi pembentuk Undang-Undang. Sebab, penerapan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika masih belum mampu menjangkau perkembangan jenis narkotika dengan berbagai cara penanggulangannya, sehingga pencegahan dan pemberantasannya kurang efektif.       

 

Peneliti Institute fo Criminal Justice Reform (ICJR) Maidinia Rachmawati menilai penerapan UU Narkotika menimbulkan sejumlah persoalan dalam penerapannya. Setidaknya, ada lima persoalan yang muncul dari penerapan praktik UU tentang Narkotika. Pertama, tidak maksimalnya sinergisitas (antar lembaga terkait) mengenai kebutuhan rehabilitasi pengguna narkotika.

 

Pasalnnya, bagi pengguna narkotika semestinya tidak lagi diterapkan hukuman pemenjaraan, tetapi mesti direhabilitasi. Menurutnya, UU Narkotika tegas menempatkan Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga yang melakukan kooordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan narkotika bersama Kementerian Kesehatan  dan Kementerian Sosial. “(BNN) Sebagai pelaksana lapangan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (28/6/2018).

 

Praktiknya, belakangan BNN memiliki kewenangan melakukan rehabilitasi berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.23 Tahun 2010 tentang BNN.  Langkah tersebut ternyata menunjukan belum adanya pengaturan memadai dan sinergi lembaga negara terkait dengan kebutuhan rehabilitasi. Menurutnya, selama ini hasil rehabilitasi masih belum dapat menjangkau para pecandu dan pengguna narkotika yang memiliki hak atas kesehatan.

 

Kedua, lemahnya pengawasan peredaran prekursor, atau bahan pemula narkotika. Menurut Maidina, lemahnya pengawasan memberi peluang lahirnya pabrik-pabrik gelap narkotika. Sebut saja, kasus pabrik narkotika Cikende yang terbongkar, 2005 silam. Dia berpandangan praktik peredaran prekursor, ternyata tidak diatur dalam UU tentang Narkotika. Namun hanya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.47/M.Dag/PER/7/2012 tentang Ketentuan Ekspor Prekursor Non-Farmasi.

 

“Kebijakan tersebut rawan disalahgunakan. Bahkan melalui pengawasan terhadap perdaran barang tersebut pun lemah serta akses yang mudah. Dengan demikian, bukan tidak mungkin potensi penyalahgunaannya pun semakin tinggi,” lanjutnya. Baca Juga: Ini Poin Terpenting Revisi UU Narkotika

 

Ketiga, persoalan penegakan hukum yang belum mencerminkan rasa keadilan.  Menurutnya, berdasarkan kajian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI)  Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menemukan sedikitnya empat persoalan dalam penegakan hukum. Misalnya, penangkapan terhadap 28 orang pengguna atas kepemilikan shabu kurang dari 0,5 Gram. Padahal jumlah gram minimal untuk dapat dilakukan proses pro justisia untuk jenis Shabu adalah sejumlah 1 gram.

Tags:

Berita Terkait