Halal Bihalal
Tajuk

Halal Bihalal

Antrian panjang ke rumah pejabat tinggi negara atau swasta mungkin suatu fenomena yang belum cukup lama dilakukan. Ini mungkin saja ada nilai positifnya, tetapi jangan-jangan ada juga unsur kurang baiknya.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Seingat saya, perayaan Idul Fitri setiap akhir bulan suci Ramadhan tahun 60'an, adalah perayaan masyarakat Islam Indonesia dengan acara kumpul-kumpul, makan-makan, mercon dan meriam sundut. Ini adalah acara pesta istimewa bersama keluarga. Kekerabatan yang erat dengan lingkungan sosial terdekat masa itu juga menjadikannya sebagai ajang berbagi dengan tetangga terdekat, sesama Muslim atau bukan. Tetangga non-Muslim juga ikut berkeliling kampung memberi selamat.

 

Saya tidak ingat apakah waktu itu sudah ada kebiasaan berlebaran (halal bihalal) dengan pejabat tinggi negara maupun swasta di rumah dinas atau pribadi mereka. Rasanya belum ada. Lebaran waktu itu benar-benar acara keluarga dan tetangga terdekat. Di sana ada garis batas jelas antara kehidupan keluarga dan kehidupan kedinasan, satu tidak saling memasuki yang lain.

 

Yang pasti, di acara keluarga dan tetangga, ada acara saling meminta maaf, bahkan dengan mereka yang bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Sebagai anak kecil, waktu itu saya bertanya ke hati kecil, apa salah saya pada mereka yang belum kenal atau tidak pernah ada interaksi sosial apapun, sehingga saya harus meminta maaf kepada mereka.

 

Dengan orang tua jelas saya pernah banyak salah, karena lebih banyak porsi bermain daripada belajar. Kepada tetangga jelas hampir semua anak seusia pernah bersalah, karena kerap mengambil (mencuri) buah mangga dari halaman mereka, telur di kandang ayam mereka untuk bahan membuat benang adu layang-layang, atau memecahkan kaca jendela mereka dengan bola sepak kami. Motivasi satu-satunya untuk bersalaman dan meminta maaf kepada banyak orang dewasa adalah mengumpulkan sebanyak mungkin uang (salam tempel) yang mereka berikan di hari besar itu kepada anak-anak.

 

Antrian panjang ke rumah pejabat tinggi negara atau swasta mungkin suatu fenomena yang belum cukup lama dilakukan. Ini mungkin saja ada nilai positifnya, atas nama silaturahmi yang disarankan kepada warga masyarakat yang baik. Tetapi jangan-jangan ada juga unsur kurang baiknya. Bisa saja timbul prasangka, dari mana dana yang digunakan para pejabat itu untuk sajian ratusan bahkan ribuan orang yang datang ke rumah? Dari anggaran negara? Dana taktis pejabat tinggi? Sumbangan pengusaha? Hasil korupsi? Dana yang nantinya ditagih ke rekening perusahaan? Atau buat mereka yang jujur, harus hutang?

 

Dari satu sisi saja jelas, ritual ini merepotkan, bukan saja buat tuan rumah (yang semua asisten rumah tangganya pulang kampung), tetapi juga buat yang harus datang, karena harus meninggalkan keluarga yang juga merayakan hari raya di rumah. Yang jelas ada pemborosan secara nasional di sini, lepas dana itu datangnya dari mana.

 

Ritual ini merupakan puncak dari serangkaian kegiatan selama bulan puasa, di mana seharusnya puasa dijalani dengan penuh kesederhanaan sebagai upaya menahan diri, mencoba membersihkan diri, dan kegiatan religius, berubah menjadi acara kedinasan dan memelihara relasi sebulan penuh dengan berbuka puasa bersama di resto-resto dan hotel-hotel mahal. Pemborosan dan kebocoran juga bisa terjadi di sini. Sementara keluarga kita tinggalkan di rumah.   

Tags: