Potensi Masalah Hukum Pasca Terbitnya PP Perizinan Terintegrasi
Utama

Potensi Masalah Hukum Pasca Terbitnya PP Perizinan Terintegrasi

Terbitnya PP tak serta merta mencabut perda-perda yang bertentangan dengan OSS. Jika PP wajib menjadi acuan dalam proses perizinan di masa peralihan, berpotensi timbulnya ketidakpastian hukum dalam sektor perizinan dan investasi.

Oleh:
Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Menteri Koordinator Perekonomian (Menko), Darmin Nasution baru saja meresmikan perizinan terintegrasi atau yang disebut dengan Online Single Submission (OSS) pada Senin lalu, (9/7). Bersamaan dengan peresmian OSS, pemerintah juga menerbitkan payung hukum pelaksanaannya yakni PP No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.

 

Pada dasarnya, peraturan ini bertujuan untuk memangkas proses penerbitan izin usaha yang selama ini berbelit-belit. Setiap perizinan di seluruh Indonesia, baik itu tingkat pusat maupun derah, hanya melalui satu pintu saja yakni OSS. Sistem ini menjanjikan pengurusan perizinan yang ringkas, hanya dalam waktu 30 menit hingga satu jam.

 

Pemerintah kemudian meminta Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mencabut perda-perda yang bertentangan dengan OSS. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 89 PP 24/2018.

 

Pasal 89

(1) Dalam rangka pelaksanaan standar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota mencabut dan menyatakan tidak berlaku seluruh peraturan dan/atau keputusan yang mengatur mengenai

norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangannya, yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

(2) Pencabutan peraturan dan/atau keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah

ini.

 

Menurut Dosen Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan, lahirnya PP 24/2018 tidak secara otomatis mencabut perda yang sudah diterbitkan di daerah karena akan menyalahi asas otonomi daerah. Sebagai pihak yang menerbitkan Perda, pemerintah daerah bersama dengan DPRD memilki kewenangan untuk mencabut aturan-aturan tersebut.

 

“Perda tidak bisa langsung tidak berlaku karena ketika tidak berlaku maka kemudian ini menyalahi asas otonomi daerah. Konstitusi sudah menjamin bahwa setiap daerah punya hak untuk membuat Perda dan itu sebagai penghargaan untuk otonomi daerah. Sehingga sekarang bagaimana pemerintah daerah mengkuti kebijakan perizinan yang sudah diberlakukan dengan PP perizinan terbaru itu,” kata Jimmy kepada hukumonline, Selasa (10/7).

 

Tetapi di balik niatan baik pemerintah untuk memperbaiki proses perizinan yang merata di seluruh Indonesia, terdapat potensi masalah. Pertama, kesiapan masing-masing daerah untuk melaksanakan OSS. Jimmy berpendapat, kesiapan daerah dalam menjalankan OSS membutuhkan rentang waktu yang berbeda-beda. Dalam hal ini, pemerintah pusat harus memberikan rentang waktu yang cukup untuk melakukan revisi terhadap Perda dalam situasi peralihan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait