Perludem Jelaskan 4 Bahaya Presidential Threshold 20% Bagi Indonesia
Berita

Perludem Jelaskan 4 Bahaya Presidential Threshold 20% Bagi Indonesia

Argumentasi pemohon menyatakan syarat Presidential Threshold 20% menghambat demokrasi dalam Pilpres 2019.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Titi Anggraini (paling kiri) dan Jimly Ashshiddiqie (peci hitam) dalam diskusi ILUNI UI, Kamis(12/7). Foto: NEE
Titi Anggraini (paling kiri) dan Jimly Ashshiddiqie (peci hitam) dalam diskusi ILUNI UI, Kamis(12/7). Foto: NEE

Permohonan uji materil Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tengah diperjuangkan di Mahkamah Konstitusi. Hal yang dipersoalkan adalah syarat ambang batas suara di DPR untuk bisa mencalonkan Presiden (Presidential Threshold).

 

Dalam diskusi Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Kamis (12/7) di Kampus UI Salemba, Jakarta, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menjelaskan apa saja bahaya pengaturan ini. Sejumlah pandangan Titi dibenarkan oleh Ketua pertama Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie yang memberikan sambutan pembuka.

 

UU Pemilu diundangkan pada 15 Agustus 2017 dengan sejumlah ketentuan baru dibandingkan versi sebelumnya.  Sejak saat itu, tercatat UU Pemilu ini sudah beberapa kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.

 

Kali ini, sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat ramai-ramai mengujikan Pasal 222 UU Pemilu karena dianggap membahayakan demokrasi Indonesia. Para pemohon menilai ada pelanggaran konstitusional soal Presidential Threshold 20%. Ketentuan ini menurut mereka melanggar 3 pasal dalam konstitusi.

 

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. (Pasal 222 UU Pemilu)

Pasal UUD 1945 yang dilanggar:

Pasal 6 Ayat (1), Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), Pasal 6A Ayat (2), Pasal 6A Ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 22E Ayat (2), Pasal 22E Ayat (6), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Pasal 6

  1. Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
  1. Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan WakilPresiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Pasal 6A

  1. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
  1. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
  1. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
  1. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
  1. Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

 

Yang dipersoalkan para pemohon adalah persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya untuk bisa mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden.

 

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menjelaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu membuat masyarakat tidak bisa memiliki pilihan calon Presiden berkualitas. “Ada intensi menciptakan calon tunggal, bukan lagi keragaman pilihan,” kata Titi.

Tags:

Berita Terkait