Mantan Wakil Presiden RI Boediono dihadirkan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi atas dugaan kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI. Boediono hadir dalam kapasitasnya sebagai mantan Menteri Keuangan sekaligus mantan anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Dalam keterangannya, Boediono mengatakan ada pembahasan mengenai kewajiban penyelesaian hutang petambak. Usulan dari BPPN saat itu agar utang tersebut diperingan, namun Boediono mengaku lupa berapa jumlahnya.
Selain itu, BPPN yang dipimpin Syafruddin tidak pernah membahas adanya utang petambak yang macet sebesar Rp4,8 triliun. Belakangan, jumlah ini menjadi akibat misspresentasi yang dilakukan Sjamsul Nursalim.
"Yang dibahas beban petambak Rp135 juta menjadi Rp100 juta, semacam itu kalau gambaran besarnya itu. (Misspresentasi) tidak pernah dibahas," ujar Boediono di persidangan, Kamis (19/7/2018). Baca Juga: Syafruddin Tak Ingin Sjamsul Nursalim Tanggung Hutang Petambak
Penuntut umum KPK Haeruddin pun memastikan hal ini dengan membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). "Apakah Kepala BPPN SAT melaporkan kepada KKSK mengenai temuan misrep tentang PT DCD dan PT WM (perusahaan Sjamsul Nursalim), jelaskan? Kepala BPPN SAT tidak melaporkan kepada KKSK tentang misrepresentasi DCD dan WM sebesar Rp4,8 triliun atas pelaksanaan FGD Ernest and Young?" tanya Jaksa yang langsung dibenarkan Boediono.
Boediono juga membenarkan adanya saran dari Syafruddin agar hutang petambak sebesar Rp2,8 triliun dihapusbukukan. Usulan itu disampaikan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 di Istana Negara.
Penuntut umum kembali membacakan BAP milik Boediono. "Benar saya pernah ikut ratas 11 Februari 2004 yang membahas utang petambak plasma Rp4,8 triliun. Adapun pembahasan Kepala BPPN menjelaskan utang petambak Rp3,9 triliun dan atas Rp3,9 triliun itu dihitung utang petambak Rp1,1 triliun. Dan sisanya Rp2,8 triliun diusulkan Kepala BPPN diusulkan write off?" kata Jaksa membacakan BAP Boediono.