Pasal-Pasal Ini Dikritik Pengusaha dalam RUU Sumber Daya Air
Berita

Pasal-Pasal Ini Dikritik Pengusaha dalam RUU Sumber Daya Air

Apindo mempertanyakan sikap pemerintah dan DPR yang tidak melibatkan dunia usaha dalam pembahasan RUU SDA.

Oleh:
Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Pengelolaan air, masyarakat mendapat prioritas. Foto: MYS
Pengelolaan air, masyarakat mendapat prioritas. Foto: MYS

DPR sudah mengambil inisiatif dengan menyusun draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. RUU ini tertera dalam nomor urut 27 daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2018. Proses penyusunan RUU Sumber Daya Air (SDA) ditunggu banyak pihak setelah 2015 silam Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air karena bertentangan dengan UUD 1945.

Pengusaha adalah pihak yang banyak menaruh perhatian pada RUU ini. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) telah membuat diskusi untuk membahas RUU dan memberikan masukan kepada DPR dan Pemerintah. Diperoleh informasi, 12 ketua asosiasi yang berkumpul di Apindo sepakat untuk mendukung niat pemerintah dan DPR dalam menerbitkan UU baru pengganti UU No. 7 Tahun 2004.

Direktur Eksekutif Apindo, Danang Girindrawardana, menjelaskan Undang-Undang baru diperlukan untuk mengatur pengelolaan sumber daya air agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, keseimbangan ekologis atau lingkungan hidup dan menjamin terlaksananya kegiatan usaha yang dapat meningkatkan taraf hidup.

(Baca juga: Enam Materi Muatan RUU Sumber Daya Air).

Namun, kata Danang, draf RUU yang dibahas saat ini belum dirumuskan dengan baik. Para penyusun masih mencampuradukkan pemikiran sumber daya air sebagai fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Ini berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi dunia usaha dan perekonomian Indonesia. “Seharusnya negara bisa memberikan upaya untuk menjaga iklim investasi dan perlindungan usaha. Namun alur pemikiran dalam RUU ini malah membangun ketidakpastian usaha, lantaran tercampur aduknya pengelolaan sumber daya air sebagai fungsi sosial dan fungsi ekonomi,” kata Danang di Jakarta, Kamis (19/7).

Danang menjelaskan, setidaknya terdapat tiga hal strategi yang berpotensi merusak iklim investasi di Indonesia. Pertama, ia mempertanyakan arah tujuan RUU SDA, ingin mencari pemasukan bagi negara atau mengatur kelancaran investasi yang berimbang dengan kebutuhan masyarakat. Menurutnya, terdapat pasal-pasal yang memberatkan bagi dunia usaha, yakni pungutan dalam bentuk bank garansi dan kompensasi untuk konversi SDA minimal 10 persen dari laba usaha. “Sepuluh persen dari total laba, lho. Padahal penggunaan air oleh industri itu ‘kan sudah ada pajaknya. Nah ini apalagi?”.

Pasal 47 RUU menegaskan izin penggunaan SDA untuk kebutuhan usaha dapat diberikan kepada pihak swasta setelah memenuhi syarat tertentu dan ketat. Minimal, syarat yang harus dipenuhi adalah sesuai dengan pola pengelolaan SDA dan rencana pengelolaan SDA; berbadan hukum; memenuhi persyaratan teknis administratif; bekerjasama dengan Pemerintah Pusat dan atau Pemerintah Daerah; mendapat rekomendasi dari pemangku kepentingan di kawasan SDA; memberikan bank garansi yang besarannya disesuaikan dengan volume penggunaan air; dan menyisihkan paling sedikit 10 persen dari laba usaha untuk konservasi SDA.

Kedua, Danang menilai arah RUU SDA belum memiliki orientasi perbedaan yang jelas tentang kewajiban negara dalam menyediakan air bersih dan air minum bagi masyarakat dan sekaligus kewajiban negara dalam membangun perekonomian yang memajukan masyarakat dunia usaha. Kelemahan ini tercantum di dalam Pasal 51 ayat (1) RUU dan  Penjelasannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait