MK ‘Haramkan’ Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD
Utama

MK ‘Haramkan’ Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD

Melalui putusan MK ini, kelembagaan DPD benar-benar menjadi lembaga utusan daerah, tidak menjadi utusan partai politik terselubung.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) secara bulat mengabulkan seluruhnya pengujian Pasal 182 huruf I UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan Muhammad Hafidz yang pernah mencalonkan diri menjadi calon anggota DPD wilayah Jawa Barat pada Pemilu 2014. Dalam putusannya, Pasal 182 huruf I UU Pemilu mengenai syarat perseorangan yang ingin menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat bahwa keanggotaan DPD tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik.  

 

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan frasa ‘pekerjaan lain’ dalam Pasal 182 huruf l UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik’,” kata Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan No. 30/PUU-XVI/2018 di Gedung MK, Jakarta (23/7/2018).

 

Selengkapnya Pasal 182 huruf l UU Pemilu berbunyi, “Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan (l) bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” 

 

Menurut Pemohon, dalam permohonannya, apabila anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik akan lebih mengutamakan kepentingan atau platform partai politik. Pada dirinya melekat jabatan, tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan pengurus parpol tertentu ketimbang mengutamakan kepentingan daerah secara keseluruhan. Apalagi, sebagian besar partai politik di Indonesia masih bersifat sentralistik, dimana pengambilan keputusan masih tergantung pada pimpinan di tingkat pusat.

 

Pemohon menilai frasa "pekerjaan lain" mengandung ketidakjelasan makna. Sehingga, ia meminta MK menambahkan tafsir "fungsionaris partai politik" dalam frasa "pekerjaan lain". Penambahan tafsir ini, menurut pemohon, dapat mencegah timbulnya konflik kepentingan antara jabatannya di partai politik dan di lembaga lembaga legislatif dalam hal ini DPD.

 

Anggota Majelis MK I Dewa Gede Palguna menilai Pasal 182 huruf l UU Pemilu tidak tegas melarang pengurus parpol mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD. Namun, sesungguhnya sikap MK dalam putusan-putusan sebelumnya selalu menegaskan bahwa aturan calon anggota DPD tidak boleh berasal dari anggota parpol.

 

“Untuk kondisi saat ini terdapat anggota parpol yang juga mengisi jabatan sebagai anggota DPD, maka MK menyatakan keanggotaannya tetap konstitusional. Sebab, putusan MK berlaku prospektif atau ke depan dan tidak boleh berlaku surut (retroactive),” ujar Palguna saat membacakan pertimbangan putusan.

Tags:

Berita Terkait