Putusan MK Larang Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD Selaras dengan Konstitusi
Berita

Putusan MK Larang Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD Selaras dengan Konstitusi

Sebagai tindak lanjut putusan MK ini semestinya segera dituangkan dalam Peraturan KPU.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.30/PUU-XVI/2018 terkait pengujian Pasal Pasal 182 huruf l UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pengurus partai politik (parpol) dilarang merangkap menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terhitung sejak Pemilu 2019 dan seterusnya.

 

Hanya saja, jika ada anggota/pengurus parpol yang sudah mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD tetap diperkenankan dengan syarat mengajukan pengunduran diri sebagai pengurus parpol. Putusan ini disambut positif sebagai jalan melakukan penataan kembali kelembagaan parlemen yang menjadi lebih baik.

 

“Saya kira putusan MK ini menjadi awal penataan kelembagaan parlemen kita. Bagaimana membuat DPR dan DPD bisa sama-sama kuat untuk menjadi perpanjangan tangan rakyat dan daerah dalam praktik berdemokrasi,” ujar peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius kepada Hukumonline di Jakarta, Selasa (24/7/2018). Baca Juga: MK ‘Haramkan’ Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD

 

Lucius menilai putusan MK tersebut sekaligus menjawab beragam persoalan terkait sifat dan karakter keterwakilan DPD di parlemen. Sebab, legislator dan pemerintah sebagai pembentuk UU seringkali “malu-malu” mempresentasikan sifat keterwakilan DPD yang mestinya bebas dari cengkeraman partai politik. Seharusnya, memang DPD merupakan murni keterwakilan wilayah atau teritorial yang berbeda dengan keanggotaan DPR, yang notabene perwakilan partai politik.

 

“Ketidaktegasan dalam UU Pemilu tersebut telah membuat sejumlah anggota DPD periode 2014-2019 tanpa beban menjadi pengurus parpol tertentu. Kalau sudah memilih jalur DPD, berarti jangan sampai ada unsur perwakilan politik melalui Parpol. DPD hanya menerima unsur daerah yang mewakili daerah sebagai teritorial tertentu,” lanjutnya.  

 

Selama ini perbedaan sifat representasi antara DPD dan DPR hanya menjadi perbincangan  di ruang-ruang diskusi tanpa adanya solusi. “Sejak adanya putusan MK ini, sejak Pemilu 2019 tak ada lagi anggota DPD yang berstatus anggota/pengurus parpol tertentu. Jadi, tidak ada lagi peluang tipu-tipu anggota DPD yang menjadi pengurus partai,” kata dia.

 

“Keterwakilan ganda keanggotaan MPR yang terdiri dari anggota DPD yang juga menjadi pengurus parpol justru merusak sistem ketatanegaraan akibat praktik jabatan ganda,” katanya.

Tags:

Berita Terkait