Siasat Notaris Menghindar dari Proses Hukum
Kolom

Siasat Notaris Menghindar dari Proses Hukum

​​​​​​​Ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris seolah menjadi benteng agar dapat menghindar untuk dimintai keterangan dari pemanggilan penyidik, penuntut umum maupun hakim dalam menindaklanjuti penanganan perkara.

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: dokumen pribadi
Reda Manthovani. Foto: dokumen pribadi

Persamaan di depan hukum alias equality before the law berlaku bagi setiap warga negara. Begitu pula persamaan di depan pemerintahan pun berlaku hal yang sama. Tak terkecuali penegak hukum, profesi dalam penegakan hukum, maupun yang bergerak di bidang jasa pelayanan hukum. Pengaturan persamaan setiap warga negara diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.

 

Sayangnya, bagi profesi notaris punya perlakuan yang berbeda. Walhasil, ketika keterangan seorang notaris diperlukan dalam proses peradilan oleh penyidik, penuntut umum, maupun hakim mesti mengantongi  persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris. Dalam memproses perizinan agar notaris dapat dimintai keterangannya oleh penyidik, penuntut umum dan hakim diatur melalui ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU No.2 Tahun 2014  tentang Perubahan Atas UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

 

Pasal 66 ayat (1) menyebutkan, “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris berwenang: mengambil fotokopi Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris”.

 

Sejatinya memang ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 merupakan hasil revisi dari Pasal 66 ayat (1) UU 30/2004 tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan, “Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: mengambil fotokopi Minuta akta  atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris”.

 

Perubahan mendasar dari pasal tersebut yakni perizinan mesti mendapat ‘persetujuan  majelis pengawas daerah’ menjadi ‘persetujuan majelis kehormatan notaris’. Perubahan tersebut terkesan menjadi strategi notaris agar dapat menghindari dari jeratan hukum. Nah, lantas seperti apa mekanisme substansi perizinan dalam melakukan pemeriksaan terhadpa notaris untuk kepentingan proses peradilan?

 

Belakangan ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU 30/2004 telah dicabut melalui putusan Mahkamah Konstitusi No: 49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013. Pasca putusan MK tersebut, perubahan Pasal 66 ayat (1) yang dituangkan dalam UU 2/2014  hanya berselang 7 bulan. Boleh jadi, proses revisi menjadi RUU terbilang cepat prosesnya dibanding dengan revisi UU lainnya.

 

Selain itu, substansi revisi hanya mengubah kalimat dari “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD”  menjadi  “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN)”. Padahal  menurut MK dalam putusannya, pengaturan persetujuan oleh MPD termasuk dalam kelompok pengaturan yang semestinya tidak mengandung perlakuan berbeda. Sehingga  tidak bertentangan dengan prinsip equal protection sebagaimana  yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Yakni, persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum dan pemerintahan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait