Empat Advokat Senior di Klarifikasi Sjamsul Nursalim
Utama

Empat Advokat Senior di Klarifikasi Sjamsul Nursalim

Tiga dari advokat senior itu merupakan kuasa hukum Sjamsul Nursalim. Mereka menganggap setelah keluarnya kebijakan R n D, SKL tidak diperlukan.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Dari kiri ke kanan: Tuti Hadiputranto (berdiri), David Suprapto, Otto Hasibuan dan Maqdir Ismail saat menggelar konperensi pers di sebuah hotel di Jakarta. Foto: AJI
Dari kiri ke kanan: Tuti Hadiputranto (berdiri), David Suprapto, Otto Hasibuan dan Maqdir Ismail saat menggelar konperensi pers di sebuah hotel di Jakarta. Foto: AJI

Sjamsul Nursalim pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang disebut bersama-sama dengan istrinya Itjih Nursalim dan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT) melakukan tindak pidana korupsi dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memberi klarifikasi kepada wartawan. Klarifikasi ini untuk meluruskan berbagai informasi terkait proses hukum terdakwa Syafruddin yang tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.  

 

Yang menarik dari acara ini yaitu hadirnya empat advokat senior seperti Sri Indrastuti Hadiputranto pendiri sekaligus partner Hadiputranto Hadinoto and Partner (HHP), Otto Hasibuan mantan Ketua Umum DPN Peradi 2005-2015, Maqdir Ismail pendiri dan partners Maqdir Ismail & Partners serta David Suprapto Managing Partner DSP Law Office.

 

Kecuali Tuti (sapaan Sri Indrastuti Hadiputranto) tiga dari empat advokat senior itu merupakan kuasa hukum dari Sjamsul. Hal ini dibenarkan oleh Maqdir. Tuti sendiri hanya bertindak sebagai moderator dalam acara tersebut. "Betul, sementara sekarang begitu, Bu Tuti tidak ikut tim penasihat hukum," ujar Maqdir di sebuah hotel di Jakarta pada Rabu (25/7/2018).

 

Dalam pernyataan pembukanya, Tuti mengaku bingung kenapa perkara SKL BLBI kembali diungkit. "20 yang lalu kejadian yang sudah tuntas, diungkit kembali. Sampai dimana kita percaya kepastian hukum di dalam berusaha?” kata Tuti.  

 

Sementara Otto Hasibuan menjelaskan awal kronologi terjadinya peristiwa ini yang dimulai sejak adanya krisis moneter pada 1997-1998. Ketika itu harga dolar melonjak dari Rp2.500 per dolar menjadi sekitar Rp17 ribu per dolarnya. Kondisi ini mengakibatkan beberapa bank kolaps hingga dalam status likuidasi atau berhenti beroperasi.    

 

Salah satu bank itu yang menerima dana bantuan likuiditas adalah BDNI sekitar Rp47 triliun. Setelah empat bulan diambil alih BPPN, bank tersebut dinyatakan sebagai Bank Beku Operasi alias ditutup. Lalu mengenai hutang bank tersebut, menurut Otto seharusnya dibayar oleh bank itu sendiri bukan pemilik.

 

"Menurut hukum yang bertanggung jawab bank, di undang-undang korporasi begitu," ujar Otto. Baca Juga: Penuntut Umum Curiga Ada Persengkongkolan Audit DFF Sjamsul Nursalim

Tags:

Berita Terkait