22 Juli dan Transformasi Jaksa
Kolom

22 Juli dan Transformasi Jaksa

​​​​​​​Alih-alih memperlakukan para jaksa sebagai profesional sipil yang bertanggung jawab sesuai UN Guidelines on the Role of Prosecutors, Kejaksaan nampaknya masih merasa nyaman untuk memperlakukan para jaksa mereka seperti tentara.

Bacaan 2 Menit
Fachrizal Afandi. Foto: Koleksi Penulis
Fachrizal Afandi. Foto: Koleksi Penulis

Dibanding aparat penegak hukum lain, peran Jaksa selama ini seringkali terpinggirkan dan dipandang sebelah mata dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Terbatasnya peran mereka dalam proses penyidikan dan rantai birokrasi penuntutan yang hierarkis, serta prilaku koruptif yang masih menggurita disebut-sebut menjadi alasan di balik pandangan ini. Padahal di banyak negara para Jaksa memiliki peran penting dalam mengatur arus perkara ke pengadilan bahkan sering disebut dalam beberapa literatur sebagai penjaga Rule of Law. (Langer dan Slansky, 2017)

 

Daniel S Lev menyebut para Jaksa pernah memiliki peran yang sangat penting di saat masa jaya mereka di bawah Jaksa Agung Soeprapto pada tahun 1950-an. Hal ini tidak lepas dari keberadaan UUDS 1950 yang secara tegas melarang intervensi pemerintah terhadap badan peradilan serta UU 1/1951 yang secara tidak langsung menempatkan para jaksa bersama hakim sebagai pejabat pengadilan.

 

Hal ini membuat para Jaksa yang tergabung dalam PERSAJA (Persatuan Jaksa-jaksa sekarang bernama PJI) berkeyakinan bahwa lembaga kejaksaan adalah bagian dari Kekuasaan Kehakiman yang harus dijamin independensinya oleh Negara. Pelembagaan Kejaksaan yang berada di dalam kekuasaan kehakiman menjadikan para Jaksa menikmati status mereka sebagai Magistraat yang memiliki independensi hampir sama dengan hakim.

 

PERSAJA bahkan secara tegas mendeklarasikan tujuan mereka pada tahun 1955 sebagai organisasi yang terdepan dalam membela terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum. Dengan kewenangan yang kuat, tidak mengheran jika kemudian para jaksa selain tidak segan mengkritik kebijakan pemerintah, mereka juga berani mengusut perkara pidana yang melibatkan perwira tinggi militer dan pejabat tinggi sipil.

 

Hal ini terlihat misalnya meskipun Kejaksaan menjadi bagian dari Departemen Kehakiman, tidak menyurutkan langkah para jaksa untuk menangkap dan menuntut Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo di pengadilan atas dugaan tindak pidana korupsi (Yahya, 2004). Kasus ini mengkonfirmasi pendapat Dandurand (2007) yang menyatakan bahwa netralitas dan independensi menjadi faktor penting dalam mengoptimalkan pengabdian Jaksa kepada Rule of Law (negara hukum).

 

Namun sayangnya masa kejayaan Kejaksaan ini secara berangsur harus terhenti saat  tahun 1959 pemerintah dan penguasa militer memutuskan memberhentikan Soeprapto karena dianggap menganggu stabilitas politik. Presiden Soekarno mengangkat kembali Jaksa Agung pertama, Gatot Taroenamihardja, sosok ahli hukum yang dikenal jujur sebagai pengganti Soeprapto.

 

Karena meneruskan jejak Soeprapto, Gatot hanya menjabat dalam masa yang singkat. Langkah Kejaksaan di masa Gatot yang menangkap beberapa perwira tinggi militer yang melakukan tindak pidana korupsi kemudian berbuntut panjang. Pihak militer yang tidak terima dengan tindakan Kejaksaan melakukan serangan balik dengan menangkap dan  menahan Jaksa Agung Gatot karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait