Eksistensi Mediasi Penal dalam Penyelesaian Pelanggaran Pidana Kekayaan Intelektual
Kolom

Eksistensi Mediasi Penal dalam Penyelesaian Pelanggaran Pidana Kekayaan Intelektual

​​​​​​​Sebagai wujud keadilan restoratif yang perlu disambut baik mengingat prosedur tersebut merupakan proses yang paling adil, terutama dari sisi kepentingan korban pelanggaran kekayaan intelektual.

Bacaan 2 Menit
Tri Harnowo. Foto: Istimewa
Tri Harnowo. Foto: Istimewa

Pandangan konvensional atas penyelesaian hukum terhadap pelanggaran pidana masih memegang paradigma lama bahwa perkara pidana tidak dapat diselesaikan di luar proses pengadilan. Namun dalam berbagai praktik penegakan hukum, penyelesaian kasus pidana di Indonesia ternyata tidak jarang diselesaikan diluar proses pengadilan, misalnya melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan sebagainya.

 

Penyelesaian pidana dengan mekanisme perdamaian seperti ini dapat disebut sebagai mediasi penal. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sebenarnya memiliki unsur pidana seringkali diselesaikan melalui musyawarah meskipun tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku bukan merupakan delik aduan. Akan tetapi berdasarkan alasan untuk kepentingan semua pihak dan keutuhan rumah tangga maka penyelesaian secara mediasi seringkali menjadi pilihan terbaik.

 

Konsekuensi semakin menjamurnya mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara pidana menunjukkan perbedaan antara hukum pidana dan perdata akan semakin tipis. Selama ini memang diakui bahwa mediasi penal belum menemukan dasar hukum yang kuat, melainkan ia menggantungkan lebih kepada praktik penegakan hukum. Mediasi penal hanya terjadi dalam law in concreto.

 

Keberadaannya menemukan momentum ketika Kepolisian Negara Republik Indonesia mengeluarkan Surat Kapolri Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) yang menekankan penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR sepanjang disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara.

 

Namun mengingat Surat Kapolri ini sifatnya internal, bukan merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengikat umum, sehingga pijakan hukum mediasi penal di Indonesia belum cukup kuat.

 

Embrio diintrodusirnya ketentuan mediasi penal dalam sistem hukum positif baru dimulai dengan diundangkannya undang-undang di bidang kekayaan intelektual yang baru yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.

 

Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 berbunyi:

“Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana”.

Tags: