Menanti Ketegasan Konstitusionalitas Ambang Batas Pencalonan Presiden
Pemilu 2019:

Menanti Ketegasan Konstitusionalitas Ambang Batas Pencalonan Presiden

Sebaiknya MK jangan terburu-buru memutuskan pengujian UU Pemilu ini hanya karena tekanan publik. Kalaupun uji materi aturan ambang batas pencalonan presiden dimaknai nol persen sebaiknya tidak dipaksakan berlaku dalam Pemilu 2019, tetapi pemilu berikutnya.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Mulai Sabtu (4/8) ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka pendaftaran pemilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) untuk Pemilu 2019 hingga Jum’at (10/8) pekan depan. Namun, ketegasan konstitusionalitas aturan ambang batas presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) masih dinanti sebagian kalangan terutama beberapa elemen dan tokoh masyarakat yang tengah mempersoalkan pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).   

 

Mereka adalah M. Busyro Muqoddas (Mantan Ketua KPK), M Chatib Basri (Mantan Menteri Keuangan), Faisal Basri (Dosen FE UI), Hadar Nafis Gumay (Mantan Komisioner KPU), Bambang Widjojanto (Mantan Pimpinan KPK), Rocky Gerung (Dosen), Robertus Robert (Dosen), Feri Amsari (Dosen Universitas Andalas), Angga D Sasongko (Karyawan Swasta), Hasan Yahya (Karyawan Swasta), Dahnil A Simanjuntak (Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah), dan Titi Anggraini (Direktur Perludem). Dan termasuk Effendi Gazali.

 

Intinya, mereka minta MK menghapus Pasal 222 UU Pemilu ini yang mensyaratkan ambang batas pasangan capres-cawapres sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari total suara sah hasil Pemilu 2014 bagi parpol atau gabungan parpol yang mengusungnya atau ditafsirkan bersyarat sepanjang dimaknai nol persen. Sebab, aturan itu dirasa cukup berat dan menutup kesempatan/hak parpol baru untuk mengusung capres-cawapres alternatif lain.   

 

Selama ini hanya ada dua kandidat calon presiden (capres) yang dipastikan memiliki “tiket” untuk maju sebagai capres yakni Joko Widodo (incumbent) yang diusung koalisi enam partai politik (parpol) dan Prabowo Subianto yang diusung empat parpol sebagai parpol peserta Pemilu 2014. Sementara, parpol baru peserta Pemilu 2019 tidak berhak sama sekali mengusung capres-cawapres.

 

Seperti diketahui, peserta Pemilu 2014 diikuti 10 parpol yakni Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

 

Sedangkan, peserta Pemilu 2019 selain 10 parpol nasional tersebut, ditambah 4 parpol nasional baru yakni Partai Berkarya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dan 4 parpol lokal di Aceh yakni Partai Aceh, Partai SIRA, Partai Daerah Aceh, Partai Nanggroe Aceh.

 

Segera diputuskan

Belum lama ini, para pemohon uji materi aturan ambang batas pencalonan presiden itu mendesak MK segera memutus perkara tersebut lantaran pendaftaran calon presiden dan wakil presiden ditutup pada 10 Agustus 2018. Harapannya, putusan pengujian UU Pemilu ini dikabulkan dan langsung berlaku pada Pemilu 2019. “Saat diputus dan dikabulkan, masyarakat dapat mempunyai pilihan lebih terbuka, tidak hanya pilihannya itu-itu saja dan barangkali tidak semua cocok,” kata kuasa hukum para pemohon, Deny Indrayana dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (31/7/2018) kemarin.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait