3 Catatan Komnas HAM Tentang Penyelenggaraan Pilkada 2018
Berita

3 Catatan Komnas HAM Tentang Penyelenggaraan Pilkada 2018

Mulai dari hak pilih masyarakat, kelompok rentan dan pengawasan terhadap diskriminasi ras dan etnis.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Pemilihan di Lapas. Foto: RES
Pemilihan di Lapas. Foto: RES

Penyelenggaraan Pilkada serentak 2018 yang berlangsung di 171 daerah beberapa waktu lalu berjalan relatif lancar. Tapi bukan berarti prosesnya tanpa persoalan. Ketua Tim Pemantauan Pilkada Komnas HAM, Hairansyah, mengatakan dari pemantauan yang dilakukan Komnas HAM di 8 provinsi, setidaknya ada tiga hal yang jadi sorotan.

 

Pertama, pemenuhan hak pilih masyarakat. Komnas HAM mengamati ada yang tidak selaras dengan HAM dalam proses pendataan pemilih sampai penetapan daftar pemilih tetap (DPT) oleh KPU. Proses pendataan itu mengabaikan pemilih berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah dengan alasan belum memliki KTP elektronik dan/atau melakukan perekaman.

 

Hairansyah mengapresiasi upaya yang dilakukan pihak terkait seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), telah melakukan perekaman KTP elektronik dan menerbitkan Surat Keterangan sehingga menjadi dasar KPU dalam pendataan dan penetapan pemilih. KPU juga berupaya memfasilitasi pemilih yang belum memiliki KTP elektronik atau Surat Keterangan dengan menerbitkan Surat Edaran KPU No.574/PL.03.6-SD/06/KPU/VI/2018 tertanggal 6 Juni 2018. Sayangnya aturan itu terlambat diterbitkan dan sulit dilaksanakan.

 

“Implementasinya sulit karena hanya berlaku bagi mereka yang tercatat dalam DPT, padahal secara umum syarat agar masuk dalam DPT harus memiliki dokumen tersebut,” kata Hairansyah dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (06/8).

 

Kedua, pemenuhan hak pilih kelompok rentan. Hairansyah mengapresiasi langkah KPU dalam menjamin pemenuhan hak pilih kelompok disabilitas mulai dari pendataan pemilih, sosialisasi, penyediaan fasilitas, bahkan di beberapa tempat seprti Kalimantan Timur mereka dilibatkan menjadi kelompok panitia pemungutan suara (KPPS).

 

(Baca juga: 9 Aturan RUU Pemilu Potensial Langgar Konsitusi)

 

Untuk pemilih di rumah tahanan dan warga binaan di lembaga pemasyarakatan (lapas), Hairansyah menyebut lembaganya menemukan perlakuan yang tidak sama antar daerah sekalipun alasannya sama yakni terkait KTP elektronik atau surat keterangan. Misalnya di rutan Medaeng, Sidoarjo, Jawa Timur, dari 2.700 penghuni hanya 24 yang tercantum di DPT. Setelah dilakukan perbaikan, jumlah DPT naik menjadi 446 orang. Di lapas Medan jumlah penghuni 3.244 orang tetapi yang memiliki hak pilih hanya 183 orang.

 

Persoalan juga ditemui pada pemilih yang ada di rumah sakit (RS). Hairansyah mengatakan dalam Pilkada 2018 tidak ada tempat pemungutan suara keliling (TPS) di RS. Pasien dan petugas medis di RS hanya bisa menggunakan hak pilihnya melalui TPS terdekat di sekitar RS. Selain itu, Komnas HAM mencatat, warga Syiah Sampang yang mengungsi di rusun Jemundo, Sidoarjo, bisa menggunakan hak pilihnya sekalipun menyimpang karena penyelenggaraan tidak dilakukan di domisili pemilih.

Tags:

Berita Terkait