Mengenal HIR dan RBg Beserta 13 Perbedaannya
Konferensi ADHAPER 2018:

Mengenal HIR dan RBg Beserta 13 Perbedaannya

HIR dan RBg mengenal dualisme hukum, dan masih diikuti hakim di pengadilan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi sidang perkara perdata. Foto: RES
Ilustrasi sidang perkara perdata. Foto: RES

Setiap mahasiswa program sarjana ilmu hukum pasti pernah mendapat penjelasan tentang berlakunya pluralisme hukum di Indonesia pada kelas pengantar ilmu hukum. Sebagai negara yang mewarisi tradisi hukum penjajah kolonial, hukum adat, dan hukum Islam memang bukan hal yang mudah meramu hukum satu hukum nasional yang berlaku untuk semua masyarakat. Ini adalah ‘takdir’ sejarah Indonesia hingga saat ini.

 

Di tahun ke-73 kemerdekaan Indonesia, upaya unifikasi hukum masih terbatas pada hukum publik dan beberapa bagian hukum privat. Dalam bidang hukum pidana, setidaknya ada dua rujukan hukum yang mudah dicari. Pertama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang nama resminya Wetboek van Straftrecht sebagai hukum pidana materil di Indonesia. Diambil alih dari warisan hukum kolonial dengan beberapa perubahan, KUHP berlaku berdasarkan UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto UU No.73 Tahun 1958 disamping atas mandat ketentuan peralihan UUD 1945 pasca kemerdekaan. Kedua, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang nama resminya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. KUHAP menggantikan penggunaan het Herziene Indlandsch Reglement (HIR) untuk hukum pidana formil.

 

(Baca juga: Reglemen Hukum Acara: Riwayatmu Dulu, Nasibmu Kini)

 

Sedangkan dalam bidang hukum privat, Burgerlijk Wetboek warisan kolonial berlaku sebagai hukum perdata materil dengan silang pendapat para ahli hukum. Sebabnya tidak ada satupun undang-undang yang menyatakan penegasan keberlakuannya seperti pemberlakuan KUHP dengan UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo.UU No.73 Tahun 1958. Kebanyakan ahli hukum akan mengacu langsung pada Aturan Peralihan UUD 1945 mengenai legalitas Burgerlijk Wetboek yang lebih dikenal luas dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

 

Untuk hukum perdata formil, Prof.Efa Laela Fakhriah dalam bukunya “Perbandingan HIR dan RBg Sebagai Hukum Acara Perdata Positif di Indonesia” menyebutkan bahwa HIR dan Reglement Buitengewesten (RBg) diberlakukan pasca kemerdekaan dengan ketentuan peralihan UUD 1945 serta UU Darurat No.1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Belakangan Surat Edaran Mahkamah Agung No.19 Tahun 1964 mempertegas keberlakuan HIR dan RBg.

 

HIR dan RBg menganut dualisme wilayah hukum yaitu Jawa dan Madura serta wilayah di luar Jawa dan Madura. Dalam praktik hingga saat ini, para hakim di wilayah Jawa dan Madura akan menggunakan HIR, demikian pula hakim di luar Jawa dan Madura akan menggunakan RBg.

 

Berlakunya dualisme hukum perdata formil atau hukum acara perdata ini masih berlaku hingga sekarang. Salah satu target Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER) adalah mendorong segera disahkannya RUU Hukum Acara Perdata untuk mengakhiri dualisme hukum warisan kolonial dalam hukum acara perdata.

 

Tidak hanya itu, RUU Hukum Acara Perdata juga diharapkan menjadi unifikasi berbagai hukum acara perdata yang telanjur terserak dalam berbagai undang-undang serta Peraturan Mahkamah Agung sejak Indonesia merdeka. Karena selain HIR dan RBg, hukum acara perdata diatur dalam berbagai undang-undang sektoral.

Tags:

Berita Terkait