Mahkamah Pelayaran vs Maritime Court: Apakah Indonesia Membutuhkan Pengadilan Maritim?
Kolom

Mahkamah Pelayaran vs Maritime Court: Apakah Indonesia Membutuhkan Pengadilan Maritim?

​​​​​​​Permasalahan di bidang kelautan bukanlah perkara mudah untuk diselesaikan. Dibutuhkan orang-orang dengan pemahaman, keahlian dan pengalaman khusus untuk menjamin kualitas putusan.

Bacaan 2 Menit
Kartika Paramita. Foto: Istimewa
Kartika Paramita. Foto: Istimewa

Moda transportasi laut Indonesia tengah menjadi sorotan belakangan ini. Tenggelamnya KM Sinar Bangun dan karamnya KM Lestari Maju di saat yang berdekatan menimbulkan keprihatinan akan dipenuhinya peraturan keselamatan pelayaran. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah sistem peradilan pelayaran Indonesia sudah cukup ketat dalam menegakkan hukum demi menjamin keamanan dan keselamatan? Ataukah sebaliknya, apakah Indonesia membutuhkan pengadilan maritim tersendiri seperti di negara lain guna menyelesaikan isu ini?

 

Mahkamah Pelayaran Indonesia

Merupakan suatu lembaga khusus yang berfungsi untuk melakukan pemeriksaan lanjutan ketika terjadi kecelakaan kapal. Eksistensi lembaga ini sendiri sudah sejak zaman penjajahan Belanda.

 

Dimulai pada awal tahun 1930an, pengaturan keselamatan laut semakin berkembang di tengah masyarakat internasional. Pemerintah kolonial kemudian menerbitkan Buku II Wetboek van Koophandel (WvK) yang mengatur pengangkutan laut secara khusus. Pengaturan ini kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Raad voor de Scheepvaart atau Mahkamah Pelayaran melalui Staatsblad Nomor 2 Tahun 1934 yang diturunkan dalam Indische Sheepsvaart Wet (Undang-Undang Pelayaran Hindia Belanda Tahun 1936) yang berlaku hingga kemerdekaan Indonesia.

 

Saat ini, fungsi dan tugas Mahkamah Pelayaran diatur dalam beberapa peraturan terpisah, yakni:

  • Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
  • Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan; dan
  • Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal juncto PP No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas PP No. 1 Tahun 1998.

 

UU Pelayaran mendefinisikan Mahkamah Pelayaran sebagai panel ahli yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal. Keberadaannya di bawah Menteri Perhubungan. Hal ini menerangkan natur Mahkamah yang tidak memiliki hubungan yuridis dengan lembaga yudikatif.

 

Anggota Mahkamah Pelayaran beranggotakan paling banyak 15 orang yang merupakan Pegawai Negeri Sipil dengan pengalaman kerja minimal 12 tahun. Kualifikasi pendidikannya ialah Sarjana Hukum, Ahli Nautika Tingkat II, Ahli Teknika Tingkat II, atau Sarjana Teknik Perkapalan.

 

Berkedudukan hanya di ibu kota, Mahkamah Pelayaran memiliki fungsi untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan atas kecelakaan kapal dan menegakkan kode etik profesi serta kompetensi Nahkoda dan/atau perwira kapal setelah pemeriksaan Syahbandar. Dalam hal ini, kewenangan Mahkamah Pelayaran tidak dibatasi oleh jenis kapal, baik kapal perang, niaga ataupun kapal milik negara.

Tags:

Berita Terkait