Tak Penuhi Syarat dan Prosedur Ini, Putusan Arbitrase Asing Terancam Tak Bisa Dieksekusi
Utama

Tak Penuhi Syarat dan Prosedur Ini, Putusan Arbitrase Asing Terancam Tak Bisa Dieksekusi

Tak ada gunanya memenangkan proses panjang berbiaya mahal dalam arbitrase internasional jika berujung putusan tak dapat dieksekusi. Sekalipun atas putusan non-exequatur order Ketua PN Jakpus masih dapat diajukan upaya kasasi. Ada baiknya para pihak mengantisipasi hal tersebut dengan cermat dan teliti.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Erie Hotman Tobing pemateri pada pelatihan hukumonline dengan tema Strategi dan Teknik Beracara Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Foto: RES
Erie Hotman Tobing pemateri pada pelatihan hukumonline dengan tema Strategi dan Teknik Beracara Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Foto: RES

Proses arbitrase yang berlangsung lama serta besarnya biaya yang dikeluarkan untuk sengketa arbitrase internasional, jelas hanya akan sia-sia jika Ketua PN Jakarta Pusat menerbitkan putusan non exequatur order (perintah tidak dapat dieksekusi). Untuk itu, dalam perkara arbitrase memang menang saja tidak cukup, para pihak juga dituntut harus paham langkah apa saja yang harus dilakukan agar putusan arbitrase tak kandas lantaran tak bisa dieksekusi.

 

Partner pada Firma Hukum Soemadipradja & Taher (S&T), Erie Hotman Tobing, menjelaskan langkah awal yang harus dilakukan setelah diputusnya perkara arbitrase adalah mendaftarkan putusan arbitrase tersebut di wilayah Republik Indonesia (dalam hal ini PN Jakpus). Jangka waktu pendaftaran untuk putusan arbitrase domestik adalah 30 hari, sedangkan untuk putusan arbitrase internasional tidak ada jangka waktu pendaftaran.

 

Tidak adanya batasan waktu untuk pendaftaran putusan arbitrase internasional dipandang Erie sebagai suatu hal yang wajar, mengingat begitu banyak dan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan exequatur order dari Ketua PN Jakpus. Adapun persyaratan agar putusan arbitrase asing dapat diakui, kata Erie, dijabarkan dalam Pasal 66 UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yakni:

 

1.

Dikeluarkan oleh badan arbitrase yang terletak di Negara anggota New York Convention 1958

2.

Persoalan arbitrase-nya terbatas pada ruang lingkup hukum perdagangan

3.

Putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan dengan public order (kepentingan umum)

4.

Mendapatkan surat perintah eksekusi (exequatur order) dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

 

Hingga saat ini, kata Erie, sudah hampir 90% Negara di dunia telah meratifikasi New York Convention 1958, termasuk Indonesia yang telah meratifikasi sejak tahun 80-an melalui Keppres No. 34 Tahun 1981. Sekalipun demikian, sambung Erie, para pihak tetap harus memastikan bahwa badan arbitrase yang akan mengadili perkaranya terletak di Negara yang tergabung dalam Konvensi New York. Di samping itu, sambung Erie, memastikan putusan arbitrase tidak bertentangan dengan public order juga sangat penting dilakukan.

 

“Sayangnya, alasan public order ini seringkali digunakan oleh pihak yang kalah agar putusan arbitrase tidak dilaksanakan di Indonesia,” kata Erie pada pelatihan hukumonline dengan tema Strategi dan Teknik Beracara Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Kamis (9/8) lalu.

 

Jadi tidak hanya exequatur order, lanjut Erie, Ketua PN Jakpus juga bisa mengeluarkan non-exequatur order jika suatu putusan arbitrase dianggap bertentangan dengan public order. Namun atas putusan non-exequatur ini, disebut Erie dapat diajukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung (MA). Sayangnya, dalam proses kasasi di MA ini tidak diketahui berapa lama putusan akan dijatuhkan. Bahkan sejauh pengalaman Erie saat mengajukan kasasi atas non-exequatur order ini ke MA, putusan kasasi-nya baru terbit setelah 1,5 tahun menunggu.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait