21 Kritik Advokat Terhadap Hukum Acara Perdata
Knferensi ADHAPER 2018:

21 Kritik Advokat Terhadap Hukum Acara Perdata

Sebelum disahkan, Otto berharap RUU Hukum Acara Perdata mengakomodasi aspirasi advokat sebagai praktisi hukum pengguna hukum acara perdata.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi sidang perkara perdata di pengadilan. Foto: RES
Ilustrasi sidang perkara perdata di pengadilan. Foto: RES

Advokat merupakan salah satu aparat penegak hukum yang banyak bersinggungan dengan hukum acara perdata di pengadilan. Dalam banyak perkara perdata advokat mendampingi kliennya bersidang, melalui tahapan-tahapan hukum acara. Ketika terjadi perubahan regulasi hukum acara perdata, mau tidak mau advokat terkena imbasnya. Para penasihat hukum harus memperbarui pengetahuan mereka atas regulasi baru itu.

 

Menyadari pentingnya peran advokat itu Konferensi Nasional Hukum Acara Perdata V yang diselenggarakan Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER) Indonesia di Jember Jawa Timur, sengaja mengundang advokat senior Otto Hasibuan. Ia menyampaikan pandangan advokat mengenai hukum acara perdata Indonesia.

 

Ketua Dewan Pembina DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) itu mengatakan bahwa RUU Hukum Acara Perdata perlu dibicarakan terlebih dahulu dengan kalangan praktisi hukum khususnya advokat. “Terus terang saja ini, hampir semua bermasalah setiap bagian hukum acara ini. Paling tidak dari sudut pandang advokat,” katanya membuka pemaparan di hadapan peserta Konferensi di Auditorium Fakultas Hukum Universitas Jember, Jumat (10/8) lalu.

 

Otto menjelaskan bahwa kehadiran berbagai SEMA dan Perma harus dipahami sebagai upaya mengisi kekosongan hukum acara yang masih bergantung pada HIR dan RBg. Bahkan ia menyebutkan dalam praktik di pengadilan RV (Reglement op de Rechtsvordering) pun masih digunakan hakim dan advokat untuk bagian tertentu untuk memahami beberapa pengaturan dalam HIR dan RBg. Ada juga berbagai yurisprudensi yang melengkapi kekosongan hukum acara. Semuanya harus dihimpun menjadi bahan utama menyusun UU Hukum Acara Perdata yang baru.

 

(Baca juga: Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan)

 

Ada 21 kritik yang disebutkan Otto terhadap hukum acara perdata yang masih berlaku saat ini. Kritik ini dianggapnya sebagai hambatan dalam praktik yang harusnya menjadi acuan untuk melakukan revisi. “Kalau kita bermaksud membuat hukum acara yang baru, maka kita harus mengumpulkan semua problematika yang ada,” ujarnya.

 

No.

Permasalahan dalam Hukum Acara Perdata

1

Inkonsistensi Surat Kuasa Khusus

2

Relevansi Bentuk Gugatan Secara Lisan

3

Teknis Pemeriksaan Perkara Secara Online

4

Gugatan Terhadap Pihak Yang Berada Di Luar Negeri

5

Pemanggilan Para Pihak Yang Berperkara Melalui Bupati

6

Pemanggilan Para Pihak Yang Berperkara Melalui Surat Kabar

7

Bea Materai Dalam Gugatan

8

Perubahan Gugatan

9

Pengguguran Gugatan

10

Pencabutan Gugatan

11

Perkara Yang Telah Diputus Niet Ontvankelijke Verklaard (NO)

12

Masuknya Pihak Ketiga Dalam Gugatan

13

Permohonan

14

Manfaat Eksepsi Selain Eksepsi Absolut

15

Pembuktian

16

Salah Paham Konsep Hakim Pasif

17

Jangka Waktu Penyelesaian Perkara

18

Penyerahan Salinan Putusan

19

Upaya Hukum Banding

20

Upaya Hukum Kasasi

21

Peninjauan Kembali Kedua

 

Beberapa di antaranya diulas Otto di hadapan peserta. Kritik pertama Otto sebagai masalah mendasar adalah mekanisme penyerahan kuasa dari klien kepada advokat. Menurutnya, Pasal 44 ayat (1) huruf a UU Mahkamah Agung mengatur adanya surat kuasa khusus dalam pengajuan kasasi di Mahkamah Agung. Sementara dalam praktiknya sering terjadi surat kuasa yang digunakan menggunakan surat kuasa yang sama saat beracara di pengadilan tingkat pertama dan banding. Alasannya karena tidak ada kejelasan mengenai pengaturan itu dalam HIR/RBg. “Apakah benar surat kuasa itu bisa diborong penggunaannya dari awal sampai akhir (upaya hukum)?,” kata Otto.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait